Hal ini menyebabkan sulitnya mengukur apakah kebijakan tersebut berhasil atau tidak. Di beberapa kasus, evaluasi baru dilakukan setelah kebijakan tersebut menyebabkan masalah yang lebih besar, seperti ketimpangan atau ketidakadilan.
Contoh nyata adalah kebijakan subsidi BBM yang terus dilaksanakan tanpa evaluasi menyeluruh tentang dampaknya terhadap ekonomi dan ketimpangan sosial.
 Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, evaluasi terhadap efektivitasnya sering kali diabaikan, yang menyebabkan pemborosan anggaran dan ketidaktepatan sasaran dalam memberikan subsidi kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia mulai memperbaiki mekanisme evaluasi kebijakan. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan, misalnya, sudah mulai dievaluasi secara berkala untuk menilai tingkat keberhasilannya dalam menyediakan layanan kesehatan yang universal.Â
Begitu juga dengan evaluasi terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih menekankan pada pengurangan ketimpangan dan pemberdayaan ekonomi.
Maka dapat disimpulkan bahwa, siklus kebijakan publik yang terdiri dari pengaturan agenda, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh tantangan. Di Indonesia, setiap tahap dalam siklus kebijakan ini seringkali menghadapi berbagai kendala yang menghambat tercapainya hasil yang optimal.Â
Masalah-masalah yang muncul, seperti ketidakmampuan birokrasi dalam mengimplementasikan kebijakan, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengaturan agenda, serta evaluasi kebijakan yang tidak dilakukan secara efektif, menunjukkan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki dalam proses pengambilan kebijakan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H