Niat, mimpi, usaha dalam membangun profesionalitas dan kebermanfaatan dengan latar belakang pendidik, apalagi dilingkungan yang berasrama, tertutup dan monoton, pasti banyak kendala. Dalam aksi nyata harus banyak mengerjalan dalam teamwork, perasaan individualis harus tidak muncul terlalu besar. Sehingga kadang terlupakan untuk mengurus diri maupun squad di rumah.
Punya passion dalam bidang penelitian untuk pembinaan usia remaja (belia), tepatnya membina siswa tingkat SMA, dari tahun 90an dengan mengantarkan mereka menjadi Juara (Regional, Nasional dan Internasional) sampai dengan tahun 2018, dengan sekian Judul Penelitian, dengan sekian banyak siswa bahkan mereka bisa melanjutkan studi lanjut sesuai yang diinginkan (jadi dokter, pengusaha, TNI/Polri, Insinyur/teknik, komputasi, politisi, akademisi, banker, hukum, budayawan, rohaniawan, penulis, dan lain sebagainya), termasuk kepada mereka yang mendapatkan beasiswa di SMA dan harus lanjut studi yang Favorit dan beasiswa. Boleh jadi saya yakin sekarang sudah banyak yang bekerja lebih hebat dari gurunya.
Banyak sharing moment dan brainstorming dengan teman-teman guru, jadi narsum di beberapa daerah, diangkat menjadi Ketua atau dituakan di beberapa forum Nasional ataupun regional, jadi juri lomba penelitian tingkat daerah, nasional dan Internasional.
Yang lebih unik karena mempunyai ciri khas dalam diri yaitu pakai kacamata dan berambut putih, dianggap apapun permasalahan tahu dan dapat memberikan solusinya (tempat bertanya dan memutuskan perkara).
Ternyata setelah merenung dan bertafakur, pencapaian diatas sepertinya kurang bermakna, seolah olah apa yang dilakukan percuma, dilingkungan sendiri kurang dihargai atau bahkan " diistirahatkan ", seakan semua ini belum mempunyai kebermanfaatan khususnya di lingkungan sendiri. Banyak waktu yang selama ini dicurahkan sampai tombok-tombok, melek sampai pagi, nemani di lapangan atau di Rumah sakit, antar sana sini, sepertinya tinggal kenangan. Astaghfirulloh. Subhanalloh.
Apanya yang salah ? ,
Mana yang kurang ?,
Bahkan di tahun 2018 tersebut terbesit pikiran untuk tidak aktif lagi dalam hal-hal diatas, apalagi setelah ada pertanyaan :Â
"Apakah kamu pingin dihargai, dapat penghargaan sebagai teladan ?, ditambah lagi karena diusia yang semakin mendekati purna bhakti, lebih aktif jogging setiap pagi, bersepeda dan hunting foto".
Langsung saya jawab lantang : "tidak pernah ada keinginan itu semua, karena seorang guru hanya punya satu keinginan yaitu ilmunya bermanfaat dan siswanya mampu survive di kemudian hari !".
Alhamdulillah, perasaan semacam itu terbangunkan 4 tahun yang lalu, bahwa keinginan seseorang supaya ilmu dan amalannya lebih bermanfaat bagi orang lain atau lingkungannya tiada lain semua kenangan diatas harus dipindahkan ke dalam coretan tinta, pena, digital yang nyata mulai satu kalimat, satu lembaran dua, tiga dan seterusnya, untuk menjadi sebuah karya buku/e-book, karya nyata aktif dalam blog atau konten lainnya. Walaupun tahun 2001 sebetulnya sudah memulai, bisa terbit bajan ajar 2007 (Grasindo). Karena main perasaan akhirnya  kalah. Masih bersyukur di gugah oleh anak-anak muda inovatif, kreatif dan motivator yang mampu membangkitkan hormon "harus, harus, harus ", menulis dan membuat buku. Moment itu selalu muncul di penghujung pengabdian dan akhir tahun.
Jangan sampai moment dan kenanganmu hilang atau rusak, tulislah dalam media apapun , terbitkanlah jadi buku/digital, karena buku/jejak digital itu akan menjagamu di kemudian hari  sebagai amal jariyah.
Taklimat akhir.
Jadi guru hanya mengharapkan keridhoan dari sang Maha Pencipta. Guru berkewajiban belajar sepanjang hayat, Robbi Zidni 'ilma Warzuqni Fahma. Karena semua ilmu dan kepahaman datangnya dari sang Kholiq. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H