Mohon tunggu...
Kuncarsono Prasetyo
Kuncarsono Prasetyo Mohon Tunggu... Konsultan - Sejarah itu asyik :)

Tukang gambar yang interes pada sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akhir Tragis WR Soepratman di Rumah Tambaksari

9 Maret 2020   12:53 Diperbarui: 9 Maret 2020   19:11 4076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peninggalan penting | foto: Fully Syafii

Di Surabaya, Wage 'dikawal' Oerip Kasansengari. Dia kerabat Wage, seorang pengacara, sekaligus intelejen partikelir kaum pergerakan. Oerip adalah bapak Soerachman, orang yang saya temui ini. Oerip-lah yang menyelamatkan semua dokumen pahlawan ini. Sekarang semua dokumen itu di tangan Soerachman.

Soerachman di samping makam WR Soepratman | Foto Dokumen Pribadi
Soerachman di samping makam WR Soepratman | Foto Dokumen Pribadi

Semula, karena berstatus buron, Wage hanya tinggal di dalam rumah mungil di tengah kampung Tambaksari ini. Saat itu kondisi fisik Wage juga mulai sakit. Namun, belakangan Wage seperti tidak betah mengurung di kamar, dia gatal ingin keluar rumah.

Tujuannya adalah satu, sowan ke dr Soetomo, aktivis Budi Oetomo yang membangun basis gerakan di Jalan Bubutan, Surabaya, sejak awal-awal tahun 1930-an. Niat bertemu dokter Jawa ini sudah ada sejak Wage bertemu Bung Karno di Bandung sepuluh tahun sebelumnya. Tahun-tahun itu, dr Soetomo adalah senior di gerakan kebangsaan. Sedangkan Bung Karno, termasuk Wage, adalah anak muda yang sedang semangat-semangatnya.

"Pada Minggu pagi, Wage bersama bapak (Oerip Kasansengari. Red) berjalan kaki dari Tambaksari ke Bubutan hanya untuk bertemu dr Soetomo," kata Soerachman seperti kesaksian Oerip. Jaraknya kira kira 10 kilometer.

Gedung GNI Bubutan, tempat dr Soetomo membangun gerakan | Foto Dokumen Pribadi
Gedung GNI Bubutan, tempat dr Soetomo membangun gerakan | Foto Dokumen Pribadi

Di situlah Wage menemukan kembali semangatnya. Dr Soetomo bergembira menerima pemuda pemberani ini. Dia bahkan memberi 'panggung' ke Wage untuk menjadi pembicara dalam setiap forum rutin di Gedung Nasional Indonesia (GNI) yang dikelola dr Soetomo.

Selama di Surabaya, Wage ternyata sempat menciptakan lagu anyar. Judulnya Matahari Terbit. Lagu yang kelak menjadi karya terakhir dan menghantarkannya menjadi martir. Karya inilah yang beberapa kali dimainkan di GNI. Wage menyuguhkan lirik optimistis tentang harapan Indonesia merdeka. Sesuatu yang tabu dibicarakan saat itu.

Belakangan keberadaan Wage tercium Intelejen Hindia Balanda. Namun dia tidak ditangkap saat itu juga, bahkan ketika bolak-balik Matahari Terbit berdendang. Padahal lagu anyar itu itu dianggap propaganda Jepang. Sakadar tahu saja, pada pertengahan 1930-an pengaruh Jepang memang masif. Meskipun baru empat tahun kemudian Jepang memenangkan perang dunia.

Rumah Wafat WR Soepratman di Jl Mangga, Tambaksari Surabaya | foto: Fully Syafii
Rumah Wafat WR Soepratman di Jl Mangga, Tambaksari Surabaya | foto: Fully Syafii

Tampaknya, Belanda butuh bukti untuk menangkap Wage, karena membawa lagu dalam pertemuan terbatas sulit menjadi dasar menangkapnya. Hingga dalam suatu peristiwa, Wage terpancing keluar 'kandang'. Dia bersama sejumlah orang dalam organisasi Kepanduan Surabaya memenuhi undangan Radio NIROM di Embong Malang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun