Soetomo semakin berpengaruh dengan gerakan non politiknya. Dia bahkan ditunjuk menjadi Volksraad atau anggota rakyat (sekarang DPRD Surabaya) untuk mewakili pribumi pada 1927.
Klub studi ini mampu mencuri perhatian umum karena menawarkan solidaritas dan kesadaran bersama. Koch DMG menjelaskan, Soetomo sebenarnya tidak buta terhadap makna aksi massa sebagai alat memberikan tekanan politik, tetapi tidak seperti Sukarno yang memilih jalan politik, Soetomo lebih konservatif.
Dalam perkembanganya, Klub Studi ini membentuk sejumlah layanan sosial. Antara lain perkumpulan mengendalikan riba dan pembentukan asosiasi koperasi. Dibentuk juga kantor pengaduan semua masalah masyarakat. Antar lain masalah dengan pemerintah kota, pemecatan tanpa kompensasi, masalah pajak, kesulitan di tanah pribadi, keluhan tentang perlakuan kasar oleh polisi, masalah dengan pengusaha, dan kasus yang melibatkan rentenir.
Atas dasar prinsip klub studi bahwa kemerdekaan adalah hal utama, diupayakan, warga-warga yang berhimpun dengan Studi Klub agar saling membantu sesamanya, untuk mengatasi masalah di lingkungannya.
Klub telah mengeluarkan pedoman yang sangat sederhana untuk memerangi buta huruf, panitia Klub Studi juga memberi kursus malam di beberapa gedung sekolah di Surabaya, membaca, Belanda, Melayu, bahasa Inggris dan pembukuan.
Kemudian setelah dirasa sudah banyak masyarakat yang sudah bisa membaca dan menulis, lahirlah Majalah berbahasa Jawa rendah, "Soeara Oemoem", pada April 1930. Semula terbit tiga kali seminggu, kemudian muncul setiap hari. Tujuannya sederhana, untuk membuat orang awam suka membaca.
Majalah itu disiapkan memang tidak untuk menjadi corong politik, namun hanya menyediakan informasi, terutama di bidang ekonomi. Tujuannya memang agar mendorong motivasi dan pengetahuan, sehingga orang berdaya atas dirinya sendiri.
Sayangnya prinsip awal itu tidak ditaati, karena faktanya pemimpin redaksi majalah itu pernah ditangkap polisi pada Februari 1933 akibat mengkritisi peristiwa pemberontakan di atas kapal "Zeven Provinciën". Oktober 1930.  Di era itu, Soeara Oemoem, sudah beroplah 6.700 eksemplar, telah membeli dua mesin press berkecepatan tinggi, yang digerakkan secara elektrik.
Klub Studi tidak berhenti melakukan pengejaran, mendirikan majalah, hingga membuat sentra pengaduan publik saja, namun pada periode 1929, Klub Studi ini bahkan mendirian Sekolah asrama untuk anak laki-laki "Poetri Boedi Sedjati". Mendirikan asosiasi Perempuan sekaligus sekolah asrama anak perempuan. Setelah persiapan yang lama, Rumah Wanita dibuka di Plampitan pada Juni 1929 dengan nama Gedung Vrouwentehuis. Di tempat ini juga ada sekolah tenun.