Telanjur Ditawan, Ternyata Salah Paham
Upaya Bung Tomo mengajak warga Surabaya mengangkat senjata membuat gerah banyak pihak. Tidak hanya sekutu, namun juga tentara republik. Dia sempat ditawan, namun kemudian dilepaskan.
64 tahun silam, tengah malam itu, di ujung Kampung Blauran yang gulita, pukul 01.30 WIB, pertengahan Oktober 1945, Dr Moestopo dan Roestam Zain datang ke Rumah mungil ini. Moestopo memakai baju hitam dan ikat kepala, sedangkan Roestam bersenjata lengkap.
BACA JUGA : Kisah Bung Tomo yang Membakar Surabaya (2)
BACA JUGA : Kisah Bung Tomo yang Membakar Surabaya (1)
Moestopo mengusulkan penjagaan bersenjata di depan rumah Bung Tomo. Namun, si Bung menolak halus. "Sudahlah, mas. Rakyat di kampung ini cukup waspada untuk menjaga keselamatan diriku. Mereka itu selalu bergiliran berpatroli di halaman rumahku..."
Tetapi, Moestopo tetap mendesak. "Tetapi, ingatlah pula, orang orang NICA mungkin selalu mengintai Saudara... Terutama setelah mereka mendengar pidato-pidato Saudara..."
Esok hari, Bung Tomo keluar rumah, mampir di kantor berita Domei di pojokan Jl Tunjungan dan Jl Embong Malang, sekarang gedung itu menjadi Museum Pers Indonesia. Bung Tomo mengatur serah terima setelah mundur jadi pimpinan redaksi kantor berita ini.Â
Siang hari, si Bung pulang lagi ke Blauran. Namun, kali ini ada yang berubah dari air muka orang tua si Bung.Â
Mereka tidak menyapa dan hanya melihat. "Tak jarang aku merasa perlu memeluk ibuku, sekadar menenteramkan jiwa yang gelisah. Ibu yang kusayangi itu hanya berdiam diri, memandang ke depan. Kadang hanya anggukan kepala yang menandakan kepadaku bahwa beliau mengerti maksudku," kenangnya.
Telepon rumah Bung Tomo berbunyi. Di ujung telepon seseorang mengonfirmasi rapat pucuk pimpinan pemberontakan. Bung Tomo menjawab pukul 15.00 WIB. Dia kemudian makan siang, tidak lama datanglah Hilmi, pemuda yang dikenalnya sebagai pelopor Organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya. Kini tak tampak senyum Hilmi ke Bung Tomo. Dia memasang tampang tidak bersahabat.
"Di balik pintu tengah rumahku, aku melihat ibu memandang ke arah diriku. Air mata beliau berlinang." Berkatalah saudara Hilmi, "Saya harap Saudara ke markas Pemuda Republik Indonesia. Kawan-kawan meminta Saudara datang."