Darahnya Mendidih Setelah Pulang dari Jakarta
Setiap 10 November negeri ini memperingati hari Pahlawan. Mulai hari ini saya akan menyuguhkan tulisan empat seri mencatat rekaman kisah perang besar dari kacamata satu sosok tokoh pentingnya, Sutomo alias Bung Tomo.
Dikutip dari buku yang ditulis Bung Tomo sendiri dan merkonstruksi ingatan tempat, saya menulis dari lokasi pertempuran itu, di Surabaya.Â
Tentu jarang yang tahu siapa lelaki cungkring berjuluk Si Bung ini, kecuali orasi orasinya membakar semangat itu. Dia seorang wartawan, pribadi unik hingga akhir hayatnya. Salah satu yang berpengaruh dalam perang pertama  pasca proklamasi, pernah ditahan teman sendiri di perang 45, menjadi menteri setelah merdeka, pemimpin partai politik yang tidak laku, dipenjara Presiden Sukarno, dipenjara Presiden Suharto. Saat meninggal tidak dikubur di Makam Pahlawan.
Suatu sore, 10 Oktober 1945.Â
Bung Tomo baru saja pulang dari Jakarta, dia menyaksikan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat 5 Oktober 1945. Saat itu, dia hadir sebagai wartawan kantor berita Domei, sekaligus sekretaris II pimpinan Pemuda Republik Indonesia (PRI) Surabaya.
Darahnya mendidih, dia ingin segera mengabarkan kekhawatirannya tentang kembalinya Belanda paska hengkangnya Jepang. Dia juga bingung dengan sikap pemerintah Sukarno-Hatta yang kompromis itu.
Dari memoar yang ia tulis sendiri, simaklah apa yang berkecamuk di kepala anak muda bertubuh ramping ini. Catatan yang ditulisnya pada 12 Oktober 1965 yang saya kutip dari catatan harian dalam sebuah buku berjudul "Kumpulan Karangan Bung Tomo", terbitan Gramedia 1982.
BACA JUGA : Cinta Pertama si Bung di Rumah Sederhana ini (1)
BACA JUGA Â : Cinta Pertama si Bung di Rumah Sederhana ini (2)
"Seolah-olah tidak sabar aku menunggu berhentinya kereta api di stasiun Surabaya Gubeng," gumam Bung Tomo yang sedang dalam perjalanan dari Jakarta. Dia meneruskan kisahnya. Aku melompat agar cepat membawaku ke Radio Surabaya di Jalan Simpang (sekarang RRI). Rute Stasiun itu ke kantor radio berjarak 500 meter. Â
Kepada beberapa kawan yang bertanggung jawab di Radio Surabaya dia mencerikan pengalamanku di Jakarta. Terutama hal-hal tentang pendirian badan-badan baru paska proklamasi.
Dia juga mencerikan kekejaman serdadu-serdadu batalyon 10 Belanda, dan lain sebagainya. Dia mengatakan pada temannya bahwa pemerintah republik tidak dapat menjalankan apa-apa selain memperotes. Karena alasan siasat diplomasi yang sedang dijalankannya.
BACA JUGA : Makam Gubernur Jenderal yang Misterius
"Tetapi kemudian aku mulai berbohong," terang Bung Tomo. Dikatakan pada mereka: "Kini akan juga digunakan cara lainnya. Akan didirikan suatu gerakan rakyat yang sifatnya ekstrem untuk mengimbang sikap keras kepala," ujar si Bung dengan menggebu.
Cerita bohong si Bung itu membuat curiga rekan-rekannya. Ketika ditanya SK Menteri Penerangan, ada saja alasan Bung Tomo. Dia mengatakan tidak ada surat karena sifatnya rahasia. Sayang rayuan ini gagal meyakinkan kawan-kawannya di Radio Surabaya.
Namun Bung Tomo tidak putus asa. Dia menawarkan rencana lain. "Aku berpendapat kalau di Surabaya dapat diselenggarakan rapat besar, dimana akan kutelanjangi segenap perbuatan tentara Inggris seperti yang yang kulihat di Jakarta. Maka setidaknya 'oleh-olehku' dari Jakarta itu akan disiarkan dengan surat-surat kabar dan radio ke seluruh Indonesia. Dengan demikian, rakyat akan mengambil sikap yang lebih keras daripada pemimpin pemimpinnya yang sedang berdiplomasi menghadapi Inggris dan NICA" jelasnnya.
Lagi-lagi ide ini mental. dia menjadi marah kepada teman-temannya di PRI. Padahal saat itu PRI adalah organisasi pemuda terbesar di Surabaya yang berpusat di gedung yang sekarang bernama Balai Pemuda. PRI-lah yang mengorganisir semua kekuatan organisasi pemuda. Saya, di mata Bung Tomo PRI kurang agresif. organisasi ini menurutnya tidak menyetujui cara-cara agitatif itu.Â
Bung Tomo-pun mengaku kecewa. Dia lantas menyatakan mundur dari sekretaris II PRI Surabaya dengan sebuah surat. Kedudukannya sebagai pimpinan redaksi Domei kemudian dilepas untuk diserahkan ke orang lain.
Sejak saat itulah Bung Tomo memilih jalannya sendiri. Dia mengistilakan beda jalan satu tujuan. Dia berniat memprovokasi massa dengan jalan pemberontakan. Cara yang tidak disukai pemerintah pusat.
17 Oktober 1945 embrio pemberontakan itu terbentuk.
Beberapa kawannya yang sepemikiran diundangnya di sebuah rumah di Jl Biliton 7 Surabaya. Sebuah rumah di pojokan jalan Rumah yang kemudian disulap menjadi stasiun pemancar radio dia menyebutknya  Radio Barisan Pemberontakan Repulik Indonesia (BPRRI). Di bawah organisasi dengan nama yang sama. Barisan Pemberontakan Repulik Indonesia (BPRRI).  Sayang rumah di pojokan itu sekarang sudah dibongkar menjadi ruko.
BERSAMBUNG
BACA SAMBUNGANNYA : Kisah Si Bung yang 'Membakar' Surabaya (2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H