Ini juga sesuai keterangan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200--2008 (2008), Sejak 1868 hampir setengah juta perempuan Jepang diselundupkan ke Asia Tenggara untuk pelacuran, mereka terdiri dari berbagai profesi, termasuk pelacur dan germo. Ini karena masa itu di Jepang sedang mengalami kemiskinan parah akibat periode Meiji.
Hingga awal 1900-an Kembang Jepun dan pelacur-pelacur dari Jepang ini sangat tersohor, tidak hanya di Surabaya, namun hingga ke negeri manca. Bagaimana tidak, lokasinya yang berada di tengah area bisnis ini, juga dikeliling tangsi militer, pelabuhan, dan stasiun kereta api. Semua market yang menjanjikan.Â
Tumbuh di sekitar tahun 1870, popularitas Kembang Jepun sebagai lokalisasi pelacuran mulai surut sekitar 1910. Sepuluh tahun kemudian, tidak ada satupun rumah bordir di tempat ini.
Catatan Terence, menjelaskan, surutnya popularitas Lokalisasi Kembang Jepun karena terbitnya sejumlah produk hukum moral masyarakat di Hindia Belanda. Hukum yang melawan perzinahan itu berimbas pada dunia pelacuran yang tidak lagi terbuka. Banyak rumah bordil gulung tikar atau beroperasi sembunyi-sembunyi.Â
BACA JUGA :Â Ada Wakil Ketua MA yang Dikubur dengan Peti Wine
BACA JUGA : Pencetus Bahasa Indonesia Ternyata Orang BelandaÂ
Masa suram dunia pelacuran Surabaya ini berlanjut lagi karena ada perubahan rezim di Jepang. Ketika Kaisar Thaiso naik tahtah pada 1912, dia memerintahkan membubarkan bisnis pelacuran orang-orang Jepang di seluruh Asia, termasuk di kota ini.
Jadi, hari ini, kalian tentu tidak akan menemukan satupun bekas rumah bordil di kawasan lokalisasi terbesar era kolonial itu. Apalagi semua bangunan indah di kawasan ini telah dihancurkan karena proyek pelebaran jalan tahun 1969.
Namun yang unik, nama berbau pelacuran itu masih tetap lestari diabadikan sebagai nama jalan dan nama kecamatan di Surabaya.