[caption caption="Siswa Sekolah Dasar (Kompas/M. Latief) | Admin"][/caption]Implementasi Kurikulum 2013 kini memasuki tahun ketiga dan diberlakukan untuk seluruh jenjang dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK yang sudah mengimplementasikan kurikulum ini pada tahun pelajaran 2013/2014. Implementasi Kurikulum 2013 pada tahun ketiga pemerintah melalui Kemdikbud melakukan pelatihan bagi guru yang yang sekolahnya mengimplementasikan Kurikulum 2013 secara berjenjang.
Jenjang paling atas disebut pelatihan untuk nara sumber (NS) yang nantinya akan melatih instruktur nasional (IN) yang berasal dari para guru terbaik yang aktif dalam MGMP atau KKG. Selanjutnya para IN melatih para guru sasaran (GS) dengan pola 52 jam setara dengan 5 hari. Pertanyaan besar sekarang adalah apakah para guru yang sudah mengikuti pelatihan Kurikulum 2013 mampu mengimplementasikan dalam pembelajaran di kelas?
Ada indikasi bahwa pembelajaran menggunakan Kurikulum 2013 di sejumlah sekolah belum sesuai harapan. Guru masih mencari-cari cara mengajar yang tepat, sehinga terkesan memenuhi criteria pembelajaran yang diamanatkan dalam Kurikulum 2013 (pendekatan saintifik). Mencermati kenyataan tersebut menarik untuk kita diskusikan melalui tulisan ini. Hal ini dikarenakan gurulah yang pada akhirnya yang akan melaksanakan implementasi Kurikulum 2013 di sekolah melalui kegiatan pembelajaran di kelas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pembelajaran dengan menggunakan Kurikulum 2013 belum sesuai harapan.
Pertama, pola pikir (mindset) guru dalam menyikapi pembaharuan Kurikulum 2013. Respon guru terhadap Kurikulum 2013 bervariasi dan tidak semuanya positif. Ada sebagian guru yang belum siap menerima kehadiran Kurikulum 2013 secara terbuka dan siap untuk beradaptasi dengan tuntutan Kurikulum 2013, terutama dalam pembelajaran di kelas. Dengan demikian perubahan dokumen kurikulum 2013 belum diikuti oleh perubahan pola pikir (mindset) dari pihak yang berada pada garda terdepan implementasi Kurikulum 2013, yakni guru. Fakta menunjukkan bahwa merubah dokumen kurikulum itu mudah dan tidak terlalu membutuhkan waktu yang begitu lama, tetapi merubah pola pikir (mindset) guru membutuhkan waktu yang cukup lama dan pendekatan yang sistematis.
Kedua, kualitas pelatihan implementasi Kurikulum 2013. Pola pelatihan Kurikulum 2013 sepertinya belum sepenuhnya memberikan bekal yang cukup bagi guru sebagai modal untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 dalam pembelajaran di kelas. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain kualitas fasilitator yang kurang merata dan jarak antara waktu pelatihan dengan implementasi Kurikulum 2013 yang terlalu pendek. Rekrutmen instruktur nasional yang belum menggunakan standar yang baku melalui seleksi yang ketat, menyebabkan terjadi disparitas kualitas antara instruktur nasional yang satu dengan yang lainnya. Implikasinya adalah substansi tentang Kurikulum 2013 yang disampaikan kurang dimengerti oleh peserta pelatihan dengan baik.
Ketiga, kesiapan teknis dari Kemdikbud. Artinya, hal-hal teknis yang berkaitan dengan implementasi Kurikulum 2013, seperti aspek pembelajaran dan penilaian kurang disiapkan dengan baik. Dalam aspek pembelajaran hanya diperkenalkan pendekatan saintifik, tetapi bagaimana pembelajaran saintifik dilaksanakan dalam proses belajar mengajar di kelas sulit dipahami oleh guru secara jelas. Hal ini termasuk dalam aspek penilaian yang memperkenalkan penilaian autentik (authentic assessment), namun dalam realitasnya guru mengalami kebingungan bagaimana menilai kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan dari hasil belajar peserta didik.
Membumikan kurikulum 2013
Kurikulum 2013 yang digadang-gadang untuk meningkatkan mutu pendidikan di tanah air dari aspek normatif memang sangat ideal. Namun, dalam tataran implementatif Kurikulum 2013 perlu didesain ulang agar lebih mudah dilaksanakan oleh guru di lapangan. Hal-hal yang perlu didesain ulang agar lebih membumi adalah rumusan Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), pendekatan saintifik, pembelajaran tematik terintegratif (khusus jenjang SD), pembelajaran terpadu (IPA dan IPS) untuk jenjang SMP dan penilaian autentik.
Pertama, rumusan Kompetensi Inti terlalu abstrak, sehingga guru mengalami kesulitan untuk menurunkan menjadi indikator yang harus dicapai melalui pembelajaran di kelas. Sebagai contoh rumusan Kompetensi Inti 3 (aspek pengetahuan) jenjang SD kelas 1 tertulis: “memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat, membaca) dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah”. Rumusan tersebut di atas masih terlalu abstrak dan sulit dijabarkan oleh guru menjadi kompetensi yang akan dicapai melalui pembelajaran. Oleh karena itu Kompetensi Inti perlu didesain ulang, agar lebih operasional dan terukur, sehingga dapat dicapai melalui pembelajaran di kelas.
Kedua, rumusan Kompetensi Dasar antara Kompetensi Inti 3 (pengetahuan) dan Kompetensi Inti 4 (keterampilan) belum semuanya menunjukkan satu kesatuan kompetensi, sehingga terkesan antara pengetahuan yang ingin dicapai dengan keterampilan tidak sesuai (terkesan dipaksakan). Dengan demikian perlu dirumuskan kembali kompetensi dasar aspek pengetahuan dan keterampilan yang memiliki relevansi secara jelas dan terukur.
Ketiga, pendekatan saintifik sebagai pendekatan pembelajaran sulit diimplementasikan dalam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran. Hal ini dikarenakan setiap mata pelajaran memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga implementasi pendekatan saintifik juga berbeda. Realitas di lapangan guru mengalami kesulitan ketika mengimplementasikan pendekatan saintifik untuk setiap mata pelajaran. Ada kecenderungan justru siswa melaksanakan pendekatan saintifik secara individual dengan mengacu pada aktivitas yang ada pada buku siswa, yang sehrusnya dilakukan secara kolaboratif. Oleh karena itu perlu ada rumusan yang jelas dari pendekatan saintifik untuk setiap mata pelajaran.