Mohon tunggu...
Kunala Efendi
Kunala Efendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist

Penulis paling baheuheugia

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Hujan Bulan Juni" dari Masa ke Masa

15 Maret 2019   15:14 Diperbarui: 17 Maret 2019   11:44 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sapardi Djoko Darmono, seorang penyair yang lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940. Sapardi sudah aktif menulis sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Puisi-puisinya yang sederhana dicatut sebagai napas baru bagi perkembangan perpuisian Indonesia. Begitulah informasi awal yang saya baca di laman-laman pencarian atas nama Sapardi Djoko Darmono.

Puisi-puisi karya Sapardi harusnya tak lagi asing di telinga anak muda seangkatan saya, atau bagi siapa saja yang pernah belajar bahasa indonesia di sekolah. Puisi Sapardi beberapa kali masuk dalam soal ujian bahasa indonesia, misal puisinya yang berjudul "Aku Ingin". Puisi-puisi Sapardi dan kesederhanaannya kian populer dari masa ke masa. Bahkan salah satu puisinya "Hujan Bulan Juni" kemudian berkembang menjadi novel dan difilmkan.

Bagaimana Sapardi mampu menembus pembaca lintas zaman? Kesederhanaan bahasa dalam puisi Sapardi adalah senjata. Saya berani jamin puisi yang ditulisnya, dapat dinikmati oleh banyak orang.

Di sanalah kelebihan seorang Sapardi. Jika boleh saya membandingkan puisi Sapardi dengan beberapa penyair seperti Sutardji Colzoum Bachri atau Afrizal Malna tentu kita bisa memahami mengapa puisi Sapardi mudah sekali dicintai. Lalu, puisi Sutardji dan Afrizal Malna kenapa tidak?

Jawaban saya cuma satu, rekanan penyairnya tersebut masih menggunakan bahasa yang sukar dipahami. Sehingga peminatnya pun terbatas. Tapi puisi toh mesti dilihat zaman dan lingkungan hidup penulis.

Puisi Sapardi yang pasti dan akan banyak orang tahu adalah "Hujan Bulan Juni". Puisi ini lahir pertama kali pada 1994. Sepintas tak ada yang aneh bukan dengan hujan bulan Juni? Apalagi hari ini hujan bisa datang dan pergi kapan saja, layaknya lelaki remaja yang mudah sekali berpindah hati. Hehe...

"Hujan Bulan Juni" kemudian menjadi salah satu puisi yang kepopulerannya terjaga. Informasi yang saya dapat, puisi ini pertama kali diterbitkan pada 1994. Di mana pada tahun-tahun tersebut, Juni masuk dalam daftar perjalanan panjang musim kemarau. Pun kalau terjadi hujan, beberapa orang akan beranggapan itu hujan kiriman.

Setidaknya begitu cerita dari orang tua saya dulu. Secara keseluruhan, puisi Hujan Bulan Juni saya tafsirkan sebagai suatu yang tak tersampaikan. Sebuah perasaan yang terus dipendam. Dan puisi ini bentuk penegasan serta wadah ketika segala luapan perasaan tak terbendung. Puisi yang saya kira selaras suasananya dengan puisi "Aku Ingin". Puisi yang sudah saya kenal semasa ujian sekolah. 

Membaca Hujan Bulan Juni, akan membawa saya pada suasana yang tenang dan mendalam. Padahal Sapardi hanya menyematkan kata hujan, tabah, jejak kaki dan akar pohon. Namun penataan yang pas tiap katanya mampu membawa saya pada rasa sendu a.k.a galau. Misalnya saja pada kalimat:

"Dirahasiakannya rintik rindunya. Kepada pohon berbunga itu"

Sudahlah, tak perlu dijelaskan bagaimana rasanya rindu yang tidak disampaikan. Penggemar Dilan pasti tahu betul beratnya seberapa, haha.

Sapardi menurut saya berhasil merasuki sisi paling sensitif para pembaca. Dalam Hujan Bulan Juni, Sapardi memberi pencerahan bahwa tak semua rindu mesti diutarakan, tak semua perasaan layak diungkapkan. Sapardi pada bait akhir puisi "Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu" ingin menyampaikan bahwa akan bijak jika kita membiarkan sebuah perasaan tetap berada di dalam, tersimpan dan tetap kokoh layaknya sebatang pohon.

Siapalah yang tak langsung jatuh hati pada puisi Sapardi. Wajar, bila setiap orang mencintai puisi Sapardi dibanding puisi lainnya. Tapi kecintaan setiap orang juga tak bisa saya generalisasikan untuk zaman sekarang. Barangkali puisi dengan tema dan bahasa sederhana memang sedang hits di era sastra digital hari ini. Tergantung selera sih. Saya seleranya indomie rasa kari ayam :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun