Mohon tunggu...
Aang Kunaifi
Aang Kunaifi Mohon Tunggu... -

Aang Kunaifi adalah Penulis Buku MEMBANGUN (KEMBALI) INDONESIA KITA. Ia merupakan Intelektual Muda Muslim yang memfokuskan kajian dan pemikirannya mengenai berbagai isu kebangsaan, ketahanan nasional, kepemimpinan dan kepemudaan. Setelah menyelesaikan Master of Sains bidang Ketahanan Nasional Pascasarjana UI, ia bekerja sebagai Trainer/Motivator/Public Speaker di TRUSTCO Jakarta, selain juga mengajar di salah satu PTS di Jakarta. Silaturahim melalui email kunaifi.aangku@gmail.com dan Twitter @Aangku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

100 Hari Jokowi!

30 Januari 2015   18:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:05 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

#CapacityBuilding #MembangunIndonesia

Tanggal 27 Januari kemarin, tepat 100 hari Presiden Jokowi memimpin Indonesia. Sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 yang lalu, banyak tantangan yang harus dihadapi. Menjadi Presiden RI tentu tidak serta-merta langsung dapat menyelesaikan semua permasalahan bangsa, apalagi Indonesia yang dianggap mempunyai permasalahan yang sangat kompleks.

Indonesia memang menganut sistem presidensialisme, yaitu sistem pemerintahan yang menjadikan Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan (sole executive). Jabatan presiden menjadi semakin kuat dalam sistem presidensial karena dipilih secara langsung oleh rakyat (direct popular vote), serta untuk masa jabatan yang tetap (fixed term of office).

Begitu kuatnya jabatan seorang presiden, membuatnya tidak mudah bagi parlemen untuk melakukan impeachment. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, melainkan langsung kepada konstitusi dan rakyat. Impeachment dimungkinkan terjadi jika Presiden dianggap melakukan pelanggaran hukum, itu pun dengan melalui proses yang panjang.

Sistem presidensial juga memberikan keleluasaan kepada Presiden untuk menjalankan agendanya, karena presiden memimpin langsung pemerintahannya. Memimpin langsung pemerintahan dapat diartikan salah satunya dengan menunjuk dan memberhentikan langsung para pembantu atau kabinetnya.

Bayangan tentang betapa perkasanya seorang Presiden dalam sistem presidensial ternyata tidak terjadi dalam 100 hari pemerintahan Jokowi. Alih-alih mampu untuk bekerja secara efektif, Jokowi beberapa kali malah terjebak pada terjadinya politik transaksional. Sebut saja misalnya pada beberapa jabatan publik yang banyak diisi oleh anggota timses dan politisi dari partai pendukung.

Saya setidaknya mencatat beberapa kehebohan yang disebabkan oleh kebijakan Jokowi yang tidak tepat di mata publik, mulai dari pengangkatan Politisi Nasdem sebagai Jaksa Agung, mencabut subsisi BBM, serta mencapai klimaks ketika beliau bersikeras mengangkat Budi gunawan sebagai Kapolri.

Dari beberapa kehebohan tersebut, tercatat bahwa Jokowi dianggap publik tidak mencerminkan keberadaan dirinya sendiri, beliau dianggap terjebak pada politik transaksional. Faktor yang kemudian menyebabkan dirinya seolah dikendalikan oleh pihak lain. Jokowi seolah benar-benar mencerminkan sebagai sosok petugas partai.

Petugas partai sebenarnya adalah istilah yang tidak lazim dalam sistem presidensial, karena presiden adalah orang paling kuat. Munculnya istilah petugas partai, menurut saya terjadi karena dua faktor; sistem politik multipartai dan kapasitas dari sosok presiden.

Keberadaan sistem politik multipartai pada pada sistem presidensial memang merupakan perpaduan yang tidak lazim, Mainwaring menyebutnya sebagai perpaduan yang sulit. Mainwaring bahkan menemukan sebuah fakta yang menarik bahwa tidak ada satu pun dari ketiga puluh satu negara yang memadukan sistem presidensial dengan multipartai, mempunyai kestabilan dalam demokrasi.

Salah satu faktor ketidakstabilan tersebut adalah partai pemerintah mempunyai suara yang minoritas di parlemen, PDIP sendiri sebagai partai penyokong utama pemerintah hanya mempunyai suara 19% saja.Hanya saja memang Indonesia mengalami sedikit kemajuan dengan munculnya dua koalisi yang cukup solid, yaitu KIH (koalisi pemerintah) dan KMP (Koalisi Oposisi).

KMP memang menjadi mayoritas di parlemen, tetapi tidak jauh beda jumlahnya dengan suara KIH. Selain bahwa di parlemen juga terdapat fraksi yang netral, yaitu FPD. Dengan konstelasi politik seperti itu, Jokowi tentu mengalami situasi yang lebih baik dibanding Presiden SBY.

Presiden SBY memang didukung oleh koalisi yang berjumlah lebih dari 50 % suara di DPR, akan tetapi koalisi tersebut masih sangat cair. Terbukti Golkar dan PKS adalah partai koalisi yang kemudian dianggap anak nakal oleh SBY.

Selain karena realitas sistem politik multipartai yang menyebabkan presiden tersandera oleh kepentingan partai politik di DPR, munculnya istilah yang menyebut Jokowi sebagai petugas partai juga diakibatkan karena kapasitas kepemimpinan Jokowi sendiri.

Menjadi rahasia umum bahwa Presiden Jokowi adalah sosok yang menjadi media darling, bahkan sejak menjadi Walikota Solo. Seringnya Jokowi menjadi objek liputan media semakin menggema sejak beliau menjadi kandidat Gubernur Jakarta. Jabatan publik yang akhirnya mengantarkan beliau menjadi sosok yang laik diperhitungkan sebagai kandidat Presiden Indonesia.

Jokowi dicitrakan sebagai sosok yang sederhana dan merakyat, salah satu agenda rutin yang sering beliau lakukan adalah dengan mengadakan blusukan ke beberapa sudut kota Jakarta. Agenda blusukan membuat Jokowi benar-benar dianggap sebagai ratu adil yang sengaja dikirim untuk menyelematkan bangsa indonesia. Sosok Jokowi yang apa adanya, tidak mengambil jarak dengan rakyat, membuatnya semakin mendapatkan simpati dari publik.

Perlu diketahui bahwa popularitas dan elektabilitas tidak berbanding lurus dengan kapasitas. Seseorang bisa saja menjadi sangat populer, diterima oleh publik untuk kemudian dipilih dalam bilik suara, tanpa harus mempunyai kapasitas yang laik. Para konsultan yang bergerak dalam marketing politik, saya kira sangat mengerti tentang hal tersebut.

Padahal kapasitas sosok individu seorang presiden, jauh lebih penting dari pada popularitas dan elektabilitasnya. Dua hal yang terakhir memang berguna untuk mengantarkan sosok individu tersebut menjadi seorang Presiden, tetapi pada akhirnya kapasitas lah yang akan menentukan jalan dan arah bagi dirinya dalam memimpin bangsa.

Kapasitaslah yang membawa dia mampu untuk membangun narasi besar, membangun pengaruh pada pengikutnya, bernegosiasi dengan lawan politik, serta mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat. Tanpa kapasitas, hal tersebut diatas sulit untuk dilaksanakan.

Coba anda bayangkan, tanpa kapasitas, bagaimana Jokowi mampu untuk meyakinkan Megawati bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar. Tanpa kapasitas, bagaimana Jokowi mampu bernegosiasi dengan Koalisi Merah Putih. Tanpa kapasitas, bagaimana Jokowi dapat memastikan para menterinya bekerja dengan maksimal.

Baru 100 hari memang, tetapi setidaknyan kita sudah mempunyai sedikit gambaran tentang seberapa besar kapasitas yang dimiliki oleh Presiden Jokowi. Dari sana kemudian kita juga mungkin bisa membayangkan tentang apa kira-kira yang bakal terjadi pada pemerintahan Jokowi-JK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun