Mohon tunggu...
Paulus Ibrahim Kumentas
Paulus Ibrahim Kumentas Mohon Tunggu... Guru - Suara dari Ujung Celebes

Curhat seorang suami, ayah, pengacara, guru, hamba Tuhan, agen asuransi jiwa, dan rakyat Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Vonis Ahok, Tiki Taka yang Belum Berakhir

10 Mei 2017   00:58 Diperbarui: 10 Mei 2017   01:10 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buni Yani yang mengupload penggalan pidato Ahok di Kepulauan Seribu telah meniup peluit kick off bola panas kasus Penodaan (versi Buni Yani: penistaan) agama. Dengan olahan bola yang cukup cepat, dan diakselerasi  dengan penggunaan media sosial yang sangat tinggi di Indonesia,ditambah aksi-aksi turun ke jalan, bola panas kasus penodaan agama ini dengan tajam mengarah kepada sang Nakhoda Ibukota yang saat itu sedang memantap langkah menuju ke pilkada DKI 2017, Ir Basuki Tjahaja Purnama atau lebih akrab dipanggil Ahok

Setelah digocek sedemikian rupa, bola diarahkan kepada Presiden Jokowi yang dituduh membela sang penista agama, gelar yang disematkan kepada Ahok dengan restu MUI dan membuat gerakan gocek bola ini semakin terlegitimasi dan massif di kalangan masyarakat yang masih terlalu polos untuk peka bahwa mereka sudah menjadi alat politik kalangan tertentu yang tidak mau Ahok memegang tampuk kepemimpinan DKI Jakarta 5 tahun ke depan.  Presiden Jokowi pun dengan cepat meberikan umpan pendek kepada Polri untuk memproses sang bola panas.

Tidak ingin menguasai bola terlalu lama dan dapat  menjatuhkan citra polri yang sudah membaik di bawah kepemimpinan sang Jendral Tito Karnavian, Polri dengan cantik memainkan sedikit variasi penguasaan bola (kasus) yang belum pernah dilakukan selama ini sebelum mengoper bola kepada kejaksaan, yaitu dengan melakukan gelar perkara secara terbuka dan dihiasi dengan dissenting opinion, suatu kondisi  yang selayaknya hanya terjadi dalam proses peradilan tingkat tinggi. (Wikipedia)klik di sini  Pihak kejaksaan hanya butuh waktu sekitar 2 minggu untuk menetapkan kasus ini P-21 pada tanggal 30 November 2017. Cukup mengherankan mengingat banyaknya saksi yang dihadirkan jaksa dalam sidang kasus Penodaan agama ini. Ternyata kejaksaan pun tidak mau berlama – lama mengolah bola panas ini dan segera mengoper bola ke pengadilan.

Dengan adanya bola di pengadilan, semua pihak punya waktu untuk menarik napas lega, dan berusaha mendinginkan bola dengan meyakinkan seluruh pihak bahwa proses hukum di pengadilan tidak akan diintervensi oleh pihak manapun. Ternyata bola ini tidak kunjung dingin.  Independensi pengadilan berusaha ditekan dengan menggunakan gerakan massa, bahkan sebelum dimulainya proses pengadilan. Gerakan 212 pada tanggal 02 Desember jelas merupakan psywar yang ditujukan kepada para pihak yang sedang menggocek bola panas. Pengerahan massa di setiap sidang pengadilan, dan ditambah aksi-aksi “damai” 313, 212 jilid 2, dan 55 jelas bertujuan menekan pihak-pihak yang bersidang, khususnya pengambil keputusan.  Sangat sulit untuk yakin bahwa sang hakim yang merupakan seorang muslim dan haji,  dapat mengambil keputusan tanpa tekanan dalam kasus ini.  Tidak terbayangkan bila seorang muslim taat, kemudian jadi bulan-bulanan karena memberikan keputusan yang bisa diartikan “membela kaum kafir yang menista agama Islam”.  Kalaupun sang Hakim mampu memikul beban tersebut, tapi apakah keluarga sang hakim (istri dan anak-anak) dapat memikul beban tersebut, bila melihat track record anak-anak sang hakim yang pernah meminta ayah mereka agar berhenti jadi hakim karena malu dengan profesi sang ayah ketika ketua MK Akil Mochtar ditangkap KPK (https://kabarpolisi.com/berita-utama/4033.html)klik di i

Vonis 2 tahun Ahok jelas masih merupakan kelanjutan dari tiki-taka bola panas yang bergulir.  Kini giliran Pengadilan Tinggi Jakarta yang akan kebagian mengolah sang bola panas.  Apabila bola panas ini belum berhenti di Proses banding pengadilan Tinggi Jakarta, entah sampai berapa lama lagi rakyat Indonesia harus ikut kepanasan dalam “mengawal” si bola panas dan terus tersedot energinya untuk melakukan hal – hal yang tidak produktif.

Semoga saja tiki-taka ini segera berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun