Mereka : Location?
Saya : Biak
Mereka: Di mana tuh?
Saya: Papua
Mereka: Jauh banget………
Itu adalah cuplikan chat saya (masih pakai Mirc), ketika saya baru menginjakkan kaki di Tanah Papua pada tahun 2001 yang lalu.
Ungkapan “jauh banget” adalah reaksi yang selalu saya terima ketika saya ketikkan Papua sebagai lokasi saya. Ya, bagi orang Indonesia, Papua sepertinya lebih jauh daripada Australia, Belanda, Jerman, atau bahkan Amerika, dan sayangnya stigma itu masih tetap melekat hingga saat ini.
Bagi kebanyakan orang Indonesia, Papua tidak lebih dari daerah tertinggal yang tidak layak untuk dikunjungi. Setiap usaha memperkenalkan keajaiban pesona alam Papua tidak akan ada artinya bila stigma lama tentang Papua tetap melekat di benak masyarakat Indonesia.
Stigma – stigma lama Papua seperti masyarakat yang primitive, keras dan terbelakang, sulitnya sarana dan prasarana, resiko perang suku, bahkan gerakan politik Organisasi Papua Merdeka, hingga saat ini memang masih mengalahkan Indahnya Raja Ampat, Puncak Cartensz, Danau Sentani, rumah semut di Merauke, dan tempat-tempat wisat eksotik lainnya.
Saya sering bertemu dengan orang-orang kaya yang sudah keliling dunia, dan setiap saya tanyakan apakah pernah ke Papua, jawaban mereka tetap sama: “Tidak pernah”. Setiap usaha saya untuk mempromosikan indahnya alam Papua, seolah-olah sia-sia, ditelan oleh stigma masyarakat kita tentang (orang) Papua. “Takut”, itulah kata yang kerap terucap dari para “penjelajah dunia” ini, ketika saya menyodorkan Papua sebagai tujuan wisata mereka.
Mengangkat masa depan Papua akan selalu menjadi wacana, bila bangsa Indonesia belum “berdamai” dengan Papua. Penghapusan stigma “primitif, keras dan terbelakang” yang sudah tertanam selama puluhan tahun, harus dihapus dengan iklas dan serius. Mengapa harus iklas dan serius, karena memang tampaknya tidak ada pihak yang serius ingin membangun paradigma baru tentang Papua. Berita tentang Papua yang sampai di masyarakat, masih saja berkisar gerakan separatis OPM, perang suku, dan pelayanan sosial ke “tempat terpencil” di Papua. Bahkan banyak organisasi sosial dan keagamaan yang “menjual” Papua. Mereka datang ke Papua, kemudian saat kembali ke daerahnya, mereka mengekspose kegiatan mereka di Papua hanya untuk meningkatkan nilai jual mereka, karena sudah melakukan kegiatan di “tempat terpencil dan terbelakang”.