Mohon tunggu...
Ahmad Fathoni
Ahmad Fathoni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pembaca saja..

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

IPL Tidak Harus Belajar Kepada ISL

20 Desember 2012   11:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:18 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca artikel Dewa Gilang di sini, membuat saya tertarik untuk menambahkan saran kepada pengelola IPL. Semoga saja bisa didengar oleh para petinggi-petinggi itu. Jika Dewa Gilang lebih menyoroti soal kemasan dan pemasaran IPL yang harus belajar banyak dari ISL, saya lebih tertarik untuk meminta pengelola IPL untuk tidak belajar ke ISL. Karena apa? Karena memang perbedaan keduanya hanya terletak di kemasan dan pemasaran saja. Saya tidak akan berbicara tentang klub yang berkompetisi di dalamnya, karena mereka sudah ada dan besar sebelum Nurdin Halid membentuk LSI, bahkan sebelum Azwar Anas menggabungkan Galatama dan Perserikatan ke dalam Liga Indonesia yang disponsori oleh Dunhill. Tentu kita masih ingat tentang artikel dubbing laga ISL musim lalu yang disiarkan Anteve yang ditulis oleh Bubup Prameshwara di sini yang sudah dalam taraf melakukan pembohongan publik alias penipuan hanya demi kemasan yang dibuat semenarik mungkin. Lalu selain kemasan itu, apa lagi yang bisa dipetik dari ISL? Pemukulan wasit, perkelahian pemain, atau pengabaian keselamatan penonton di stadion, yang para pelakunya itu tidak dihukum dengan tegas? Atau pengaturan jadwal pertandingan yang dikatakan profesional oleh kawan-kawan? Dimana setiap hari selalu saja ada tayangan pertandingan sepakbola di Anteve.

Saya rasa yang harus pertama kali diperhatikan itu bukan kemasan atau pemasarannya. Karena kalau itu yang pertama diperbaiki, justru seperti sedang menutup borok di dalam pelaksanaan kompetisinya. Seharusnya pengelola IPL bisa lebih fokus dalam hal:


  1. Persyaratan peserta kompetisi. Ini yang membuat heboh para pengurus klub tahun lalu. Operator liga tampaknya harus membuat persyaratan peserta liga yang tidak memberatkan, tetapi juga tidak membuat klub seenaknya bertindak. Sehingga hal-hal seperti keterlambatan pembayaran gaji tidak terulang. Mungkin operator liga bisa membuat peraturan semacam financial fairplay ala Indonesia (disesuaikan dengan kondisi klub-klub di Indonesia), atau paling mudah ya menilainya dari kriteria-kriteria yang diwajibkan oleh AFC untuk menjadi klub profesional. Paling tidak dari sisi finansial Operator liga harus memastikan bahwa pengeluaran klub tidak lebih besar dari pemasukannya. Jadi klub harus berhitung soal gaji pemain yang pas, sesuai dengan kemampuan klubnya. Kalau tidak mampu menggaji pemain bintang, maksimalkan pemain binaan sendiri seperti yang dilakukan oleh Ajax Amsterdam. Kontrak mereka untuk jangka waktu yang lama (minimal 3 tahun). Jika mereka berkembang dengan baik, klub bisa menjualnya dengan harga yang pantas, bukan?. Bisnis bisa jalan, pembinaan pun tidak diabaikan.
  2. Pembuatan jadwal yang profesional dan konsistensi pelaksanaannya. Karena di sini lah kelemahan yang terlihat jelas di musim lalu. Walaupun musim lalu kita sama-sama tahu bahwa IPL diboikot oleh 12 klub pesertanya, sehingga menyebabkan kekacauan jadwal pertandingan. Harusnya sih begitu klub-klub itu mengundurkan diri, jadwal pertandingannya langsung diatur ulang dan konsekuen dengan jadwal yang baru. Operator liga bisa belajar dari kompetisi EPL, yang rapih dalam menyusun jadwal pertandingan walaupun ketika boxing day (libur natal) dan bisa langsung menyesuaikan ketika klub-klub EPL harus mengikuti kompetisi Eropa (UEFA Champions League dll)
  3. Penunjukan wasit dan perangkat pertandingan yang ketat dan menjaga independensi mereka dalam memimpin pertandingan termasuk keamanan selama memimpin pertandingan. Sehingga kualitas pertandingan tetap terjaga dan enak ditonton. Operator liga juga seharusnya dapat meminta kepada PSSI untuk meningkatkan mutu wasit dan perangkat pertandingan tersebut.
  4. Menggaet sponsor yang bisa memberi benefit yang paling tinggi. Kabar terakhir yang kita dengar adalah tentang akan masuknya News Corp sebagai media partner/sponsor utama? Dahulu Liga Indonesia sempat menarik Bank Mandiri untuk menjadi sponsor utama. Awalnya saya kira kita akan terlepas dari produsen rokok untuk selamanya, tapi ternyata kerjasama dengan Bank Mandiri itu hanya bertahan beberapa musim saja dan kembali Liga Indonesia disponsori oleh produsen rokok (makanya Liga Indonesia langsung berubah menjadi Liga Super Indonesia dan harus tetap begitu sebelum masa sponsorship habis). Jika sponsor liga sudah di tangan, operator sebaiknya juga ikut membantu beberapa klub yang kesulitan sponsor untuk ditawarkan ke beberapa perusahaan besar di sini. Gunakanlah ruang kosong di bagian dada kostum untuk menaruh sponsor seperti klub-klub di luar negeri. Selain bisa menambah kas klub, kehadiran sponsor di dada kostum juga memberikan variasi dan bahkan identitas tersendiri bagi klub itu. Lihatlah Inter Milan dengan Pirelli-nya, atau AC Milan yang dulu melekat sekali dengan Opel, atau Barcelona kini hadir dengan Qatar Foundation


Mungkin hanya itu yang bisa saya tuliskan. Semoga sepakbola kita dapat bergerak maju dan bersaing dengan negara lain. Jika ingin belajar dari ISL, belajarlah dari kesalahan yang pernah dilakukan pengelolanya. Karena menurut saya, selain promosi dan kemasan, ISL tidak lebih baik dari IPL.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun