Mohon tunggu...
Edukasi

Pelegalan PP Aborsi di Indonesia

13 Mei 2015   21:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:04 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian rakyat yang peduli dengan nasib bangsa memberikan respon beragam dengan adanya PP No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang didalamnya melegalkan pembunuhan terhadap janin hasil pemerkosaan yang usianya maksimal 40 hari. Arist Merdeka Sirait sebagai Ketua Komnas Perlindungan Anak menolak PP No 61 Tahun 2014 tersebut dengan alasan bertentangan dengan Pasal 1 UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Dalam UU Perlindungan Anak, bayi yang masih dalam kandungan berhak mendapat perlindungan hidup.

Pelegalan aborsi itu terdapat di Pasal 31 PP Kesehatan Reproduksi. Bunyinya:

1.Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:

a)indikasi kedaruratan medis; atau

b)kehamilan akibat pemerkosaan

2.Tindakan aborsi akibat pemerkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari, dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Padahal ada banyak dampak Aborsi yang ditimbulkan yaitu diantaranya ; Kondisi psikologis pasca aborsi diantaranya adalah munculnya penyangkalan, perempuan tak mau memikirkan atau membicarakan hal itu lagi, menjadi tertutup, takut didekati, munculnya perasan tertekan. Wanita yang melakukan aborsi diam-diam, setelah proses aborsi biasanya akan mengalami Post Abortion Syndrome (PAS) atau sering juga disebut Post Traumatic Stress Syndrome. Gejala yang sering muncul adalah depresi, kehilangan kepercayaan diri, merusak diri sendiri, mengalami gangguan fungsi seksual, bermasalah dalam berhubungan dengan kawan, perubahan kepribadian yang mencolok, serangan kecemasan, perasaan bersalah dan penyesalan yang teramat dalam. Mereka juga sering menangis berkepanjangan, sulit tidur, sering bermimpi buruk, sulit konsentrasi, selalu teringat masa lalu, kehilangan ketertarikan untuk beraktivitas, dan sulit merasa dekat dengan anak-anak yang lahir kemudian. Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes,Phd yaitu :

a.Kematian mendadak karena pendarahan hebat

b.Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal

c.Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan

d.Rahim yang sobek (Uterine Perforation)

e.Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya.

f.Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita.

g.Kanker indung telur (Ovarian Cancer)

h.Kanker leher rahim (Cervical Cancer

i.Kanker hati (Liver Cancer)

j.Kelainan pada placenta / ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya

k.Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)

l.Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)

m.Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)

n.Infeksi alat reproduksi karena melakukan kuretase (secara medis) yang dilakukan secara tak steril. Hal ini membuat remaja mengalami kemandulan dikemudian hari setelah menikah.

o.Pendarahan sehingga remaja dapat mengalami shock akibat pendarahan dan gangguan neurologist. Selain itu pendarahan juga dapat mengakibatkan kematian ibu maupun anak atau keduanya.

p.Resiko terjadinya reptur uterus atau robeknya rahim lebih besar dan menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Kemandulan oleh karena robeknya rahim, resiko infeksi, resiko shock sampai resiko kematian ibu dan anak yang dikandungnya.

q.Terjadinya fistula genital traumatis adalah suatu saluran atau hubungan antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan yang secara normal tidak ada.(Kinanti)

Peraturan ini kemudian menjadi kontroversi dalam berbagai kalangan. Berikut adalah alasan dari pihak-pihak yang menentang adanya peraturan legalisasi aborsi:

üUndang-undang aborsi dianggap menentang dan melanggar hak hidup anak, seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak itu termasuk yang masih di dalam kandungan hingga berusia 18 tahun , dan negara wajib melindunginya.”

üDari faktor kriminogen, peraturan yang dimaksudkan untuk perlindungan, tapi nantinya justru menciptakan kejahatan baru. Para wanita justru mencari cara agar diri seakan diperkosa dan melakukan aborsi, padahal kehamilan itu didasarkan kepada hubungan gelap. Apalagi dengan batas 40 hari yang diperbolehkan melakukan aborsi, dokter yang melakukan tidak akan mungkin memaksa untuk meminta surat keterangan kepolisian terkait korban perkosaan. Karena, biasanya butuh proses yang panjang (lebih dari 40 hari) untuk menetapkan seseorang diperkosa (pemberkasan).

üPP ini rawan diselewengkan dan akan memicu pergaulan bebas. Tanpa adanya PP tersebut pun, praktik aborsi sudah begitu marak, termasuk yang dilakukan oleh dukun-dukun kandungan.

üTindakan aborsi bertentangan degan sumpah dan kode etik dokter karena dokter hanya boleh dan akan mengaborsi karena indikasi medis yakni kehamilan yang membahayakan jiwa ibu dan janin. Sedangkan kehamilan hasil perkosaan bukan merupakan domain dokter namun masuk dalam persoalaan hukum.

üDampak yang ditimbulkan dari praktek aborsi tidak kalah kompleksnya dengan dampak perkosaan itu sendiri sehingga adanya legalisasi aborsi akibat perkosaan akan menambah kompleks permasalahan yang akan dihadapi korban baik secara fisik mapun psikologis.

üTahapan pembuktian adanya dugaan perkosaan membutuhkan waktu yang tidak sebentar sedangkan waktu pembolehan aborsi hanya 40 hari sejak hari pertama terakhir haid, maka sebelum divonis benar-benar menjadi korban perkosaan korban justru akan kehilangan kesempatannya untuk melakukan aborsi.

üLegalisasi aborsi akibat perkosaan akan memicu kehamilan tak diinginkan lainnya -seperti akibat perzinahan, kehamilan yang dianggap menghambat karir, kerja dan kehamilan lain yang tidak diinginkan- untuk menuntut legalisasi aborsi.

üLegalisasi aborsi menentang peraturan tentang aborsi, yakni  Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa aborsi dengan alasan apapun merupakan bentuk kejahatan tersendiri yang jelas diatur dalam.

Sedangkan alasan pihak-pihak yang setuju dengan adanya peraturan ini mengemukakan alasannya seperti berikut:

Aborsi menjadi legal karena angka kematian ibu pada saat melahirkan anak di Indonesia tertinggi di Asia. Dari 100 ribu kelahiran ada 300 lebih ibu yang meninggal dunia dan 50% diakibatkan oleh aborsi tidak aman karena sembunyi dan tidak steril. Itulah sebabnya diperlukan pengaturan diijinkannya aborsi yang aman (safe abortion).

Legalisasi aborsi telah sesuai dengan fatwa MUI pada tahun 2005 yang membolehkan aborsi dengan syarat janin belum memiliki roh dan jiwa atau sebelum 40 hari dan hanya dilakukan atas alasan darurat medis atau hamil akibat pemerkosaan karena ini mengancam keselamatan jiwa si ibu dari sisi psikis.

Aborsi merupakan hak yang dimiliki oleh korban perkosaan namun penerapan aborsi harus pula diikuti dengan mempertimbangkan ajaran agama korban perkosaan terkait penerapan aborsi ini tapi keputusan untuk melakukan aborsi tetap berada di tangan korban perkosaan, kemudian perlu ada pembuktian hukum kuat bagi pihak yang melakukan aborsi.

Legalisasi aborsi tersebut tidak bertentangan dengan HAM karena konsep HAM hanya mengatur hak hidup, dan hak hidup tidak bisa digantikan. PP Kesehatan Reproduksi memberikan pengecualian untuk pertimbangan indikasi medis dan korban perkosaan, di mana perempuan sendiri menjadi korban dan hal itu tidak melanggar HAM.

PP ini justru lebih melindungi perempuan dan mencegah perempuan kembali ke dukun untuk melakukan aborsi dengan sembarangan proses yang berakibat pada hilangnya nyawa.

Peraturan pemerintah ini diharapkan mampu melindungi kesehatan reproduksi sebagai hak dasar perempuan yang menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pelegalan aborsi untuk perempuan korban pemerkosaan dilakukan dengan pertimbangan korban memiliki trauma yang cukup panjang, masih di bawah umur dan mereka tidak siap untuk punya anak.

Peraturan perundang-undangan telah mengatur berbagai tindakan yang harus dilakukan sebelum dan setelah tindakan aborsi termasuk konseling dan kesiapan mental dan fisik korban sehingga peraturan ini dianggap lengkap dan dapat meminimallisir segala persoalan yang mungkin timbul setelah tindakan aborsi

Adapun solusiyang diajukan untuk menyelesaikan persengkataan ini adalah :

§Mempertegas dan memperberat hukuman bagi pelaku pelecehan seksual khususnya perkosaan.

§Melakukan pendampingan, konseling serta rehabilitasi bagi wanita korban perkosaan agar siap menerima keberadaan bayi yang dilahirkan

§Pemberian bantuan mental dan recovery bagi korban serta jaminan kesalamatan bagi bayi yang nantinya dilahirkan. Bila kemudian korban perkosaan tidak menginginkan bayi yang telah dilahirkan maka kemudian bayi tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah.

§Dilakukan sosialisasi secara menyeluruh dan kontinyu tentang perundang-undangan yang ada serta prosedur, tahapan dan kejelasan biaya –diharapkan negara memberikan fasilitas lebih kepada korban sehingga dapat mendapatkan layanan kesehatan secara gratis dan mudah-. Sosialisasi diharapkan mampu membantu pemahaman masyarakat tentang aborsi dengan semua dampak positif dan negatifnya.

§Membatasi dan mengatur segala sesuatu yang dapat memicu terjadinya tindak kejahatan perkosaan dan/atau kejahatan seksual lainnya, misalnya membatasi peredaran situs porno, mempertegas batasan dan sanksi tindak pornografi dan pornoaksi, melarang fasilitas kemaksiatan termasuk diantaranya peraturan berpakaian, penjualan minuman-minuman serta obat-obatan  dan melarang hal-hal yang membangkitkan nafsu seksual.

§Pelaku pidana yang melarikan diri diharapkan tidak akan menghambat pelaksanaan perundang-undangan karena diharapkan sidang dapat dilakukan tanpa kehadiran pelaku.

§Mengkaji kembali batasan perundangan tentang perzinahan, agar pelaku perzinahan yang didasarkan atas suka sama suka yang kemudian merasa dirugikan karena perbuatannya dan ingin melakukan aborsi dengan dalih sebagai korban perkosaan juga dapat ditindak lanjuti dan diberikan solusi yang nyata secara hukum agar tidak ada kerancuan dengan undang-undang yang ada ini.

§Penyidikan, pemeriksaan pembuktian serta penyelesaian hukum tindak kejahatan perkosaan ditangani oleh pihak-pihak khusus sehingga waktu yang dibutuhkan untuk melakukan segala proses hukum tersebut tidak lebih dari 30 hari dan korban dapat mendapatkan kesempatan untuk melakukan aborsi sesuai perundang-undangan tepat waktu.

§Dilakukan pendampingan dan konseling bagi remaja dan/atau pelajar agar tidak melakukan seks pranikah.

§Melakukan tindakan hukum yang tegas dan pantas bagi tenaga medis dan/atau dukun dan semua pelaku yang membantu proses aborsi gelap untuk mencegah terjadinya kesalahan aborsi yang mengakibatkan kematian dan komplikasi lainnya.

§Adanya kejelasan tentang batasan hak anak dan hukum aborsi, sehingga tidak ada tumpang tindih peraturan perundangan-undangan yang dianggap bersebrangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun