Mohon tunggu...
Kumara Wiguna
Kumara Wiguna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Content Creator

Your Real Imagination

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebahagiaan Adalah Abadi

31 Desember 2020   20:20 Diperbarui: 31 Desember 2020   20:23 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya percaya bahwa rasa bahagia itu selalu ada di sekitar kita. Tetapi seringkali dia tidak mampu kita lihat karena terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya agar bisa bahagia. Lewat momentum perayaan “JNE 3 Dekade Bahagia Bersama” ini, saya ingin berbagi cerita tentang rasa bahagia yang pernah dirasakan hingga kini. Tentu, saya berbagi kisah ini dengan rasa bahagia karena telah menuangkannya dalam tulisan yang dapat dibaca banyak orang.

Pada awalnya, saya bahkan tidak yakin bahwa cerita ini dapat disebut cerita bahagia, tetapi setelah menjalani hidup lebih lama perasaan tersebut menemukan arti sebenarnya. Juni 2019 lalu, senyum dan rasa syukur menjadi dua hal yang dominan ketika dinyatakan lulus pada ujian skripsi untuk menyelesaikan pendidikan strata satu di salah satu universitas negeri di Denpasar, Bali. Ucapan selamat begitu deras mengalir dari teman yang datang langsung dan notifikasi ponsel yang terus berbunyi. Hingga tidak terasa saya telah berada di kampus hingga sore menjelang malam karena saling berbagi cerita bersama teman-teman kampus.

Ketika sampai di kost tempat saya sehari-hari tinggal, beragam hadiah dari teman-teman yang datang saya susun dengan rapi di atas tempat tidur untuk difoto. Foto tersebut kemudian saya kirimkan kepada seseorang yang menjadi alasan terbesar agar selalu bersemangat menjalani kuliah, dia adalah ibu saya.

Tak lama setelah foto deretan hadiah terkirim, pesan balasan dari beliau langsung datang. Sebuah pesan yang singkat namun mampu membuat saya meneteskan air mata, “selamat nak, kamu hebat”. Keesokan harinya saya langsung berangkat ke tempat tinggal ibu, sebuah rumah kost yang tidak berjarak terlalu jauh dari kost saya yang sekarang. Memang, saya dan ibu telah tinggal bersama di kost sejak 2010 sebelum kemudian ibu memutuskan pindah ke kost yang lebih dekat dengan pusat kota. Karena saya masih fokus menyelesaikan skripsi, akhirnya saya masih menetap di kost yang lama sedangkan ibu sudah tinggal di kost yang baru.

Setelah sampai di kost ibu, saya tak kuasa menahan air mata ketika melihatnya tersenyum menyatakan selamat. Air mata yang juga menetes karena bersyukur melihat ibu sudah bisa berjalan pelan. Beliau telah beberapa bulan dinyatakan mengalami penyakit ginjal hingga kesulitan makan, sering merasa kesakitan di bagian perut, dan akhirnya hanya dapat berbaring di tempat tidur. Beliau sempat mendapatkan perawatan dokter di rumah sakit dan diizinkan pulang. Selama di kost baru, saya dan nenek bergantian menjaga dan merawat ibu.

Dua bulan setelah lulus ujian skripsi saya akhirnya menjalani prosesi wisuda bersama ribuan wisudawan lainnya. Jika wisudawan lain mayoritas ditemani oleh kedua orang tua, saya hanya ditemani ayah, adik sepupu, dan kakek karena ibu masih terbaring sakit. Jika perasaan yang umumnya dirasakan saat wisuda adalah bahagia, maka saya justru merasakan perasaan yang campur aduk. Selain karena ibu tidak dapat hadir karena masih sakit, saya masih memikirkan bahwa kenyataannya ayah dan ibu baru saja berpisah secara hukum pada akhir tahun 2018 lalu. Padahal saya ingin sekali mempertemukan mereka setidaknya saat saya menjalani wisuda.

Sesampai di kost ibu, saya langsung menggantung selempang yang bertuliskan nama saya lengkap dengan gelar sarjana yang baru saja diresmikan di sebelah tempat tidur agar beliau selalu bersemangat menghadapi penyakitnya. Ibu tampak sangat cantik dan bahagia waktu itu, meski dampak penyakitnya semakin terlihat karena badan ibu menjadi sangat kurus. Beberapa hari setelahnya, ibu meminta tolong dibelikan berbagai peralatan dapur di salah satu e-commerce karena ingin memasak setelah sembuh. Dengan segera saya membayar pesanan dan memilih menggunakan JNE sebagai layanan pengiriman paket. JNE saya pilih karena terpercaya dan selalu memuaskan selama hampir 7 tahun menggunakan layanannya jika berbelanja daring.

Tidak menunggu lama paket tiba dibawa oleh kurir JNE yang ramah. Saya langsung membuka semua isi paket di depan ibu karena beliau tampak sangat bersemangat saat tahu paket yang berisi peralatan memasak favoritnya tiba. Pengalaman ini sungguh luar biasa karena melihat ibu begitu bahagia, tidak terhalangi oleh rasa sakit. Pada momen tersebut, saya mengerti bahwa bahagia bisa dirasakan saat kita memberi sesuatu kepada orang yang kita sayangi.

Hingga kini saya masih sering berbelanja daring dan selalu setia menggunakan JNE sebagai layanan pengiriman. Setiap kurir datang dengan paket yang ditunggu-tunggu, rasa bahagia selalu menemani, persis seperti ketika paket peralatan memasak pesanan ibu tiba. Peralatan memasak yang saya pakai sampai sekarang, dan menyimpan berbagai kenangan manis bersama ibu yang telah berpulang ke sisi Tuhan tepat dua bulan setelah saya menjalani wisuda.

Ibu memang telah kembali ke sisi Tuhan, tetapi sosoknya selalu ada dalam diri saya berikut dengan pesan dan nasehat hidup yang diajarkan. “Bahwa ketika kita menjalani hidup di dunia, pastikan selalu berbagi, memberi, dan menyantuni sesama manusia karena dengan cara itulah kebahagiaan akan terus menemani, bahkan ketika kita telah tiada.”

Maka pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dicari, tetapi didapatkan, saat kita mampu menerima diri sendiri sebagai manusia seutuhnya, saat kita mendedikasikan hidup untuk selalu berbagi, memberi, dan menyantuni sesama manusia. Terima kasih kepada JNE selalu menjadi jembatan penghubung sekaligus pengantar kebahagiaan untuk semua dari dulu, kini, dan nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun