Catatan awal: tulisan telah saya publikasikan di facebook saya Geradus Kuma Apeutung. Saya publikasikan kembali di Kompasiana agar bisa dibaca lebih banyak orang.
Apakah itu kebetulan atau telah direncanakan, yang pasti dalam hidup kita akan mengalami moment perjumpaan. Ada perjumpaan yang direncanakan. Ada perjumpaan secara tiba-tiba. Entah dengan siapa, kapan dan di mana. Karena hidup adalah perjumpaan.
Perjumpaan dengan sahabat selalu menjadi moment yang bahagia. Ada sukacita. Ada suasana gembira. Karena dalam perjumpaan ini ada tutur kisah. Ada sharing pengalaman. Ada tukar ide. Ada adu gagasan. Karena itu perjumpaan dengan sahabat selalu membawa nuansa berbeda dan menghadirkan perspektif baru.
Saya bersyukur mengalami moment perjumpaan dengan dua sahabat “literasi” saya di Bajawa, Ngada. Saya menyebut mereka sahabat “literasi’ karena minat dan perhatian yang sama pada literasi yang menjadikan kami sahabat. Kecintaan kami pada dunia baca-tulis membuat kami akrab.
Jalan literasi yang kami geluti di tempat tugas masing-masing, juga membentang antara Flores Timur dan Ngada. Dan membawa saya berjumpa dua sahabat literasi ini. Ya, literasilah yang mempertemukan kami. Literasi sebagai gerakan kolektif tidak boleh dibatasi sekat wilayah. Literasi, sebaliknya, sebagai gerakan masa depan harus menerobos batas administratif wilayah. Itulah alasan dua sahabat ini mau menyambut dan menjamu saya.
Dua sahabat itu adalah, pertama, guru Uno Igna Marry Ignatio. Perjumpaan saya dengan putra Ende ini adalah yang kedua kali. Pertama adalah saat moment seminar nasional literasi yang diselenggarakan Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Flores Timur di Larantuka bulan Maret lalu. Semangat literasi mengantarnya dari Flores bagian tengah menuju ujung timur Flores. Sekembalinya dari Nagi, staf pengajar SMPN 1 Bajawa ini bergerak menghidupkan Agupena cabang Ngada.
Sahabat kedua adalah guru Bonefasius Zanda. Putra Ngada yang sekarang menjadi staf pengajar SMAK Regina Pacis adalah penggiat literasi di Rumah Literasi Cerdas, Ngada. Dengan guru Boy (sapaannya) ini adalah perjumpaan perdana. Sebelumnya saya hanya mengenal sahabat saya ini lewat media sosial facebook. Juga melalui tulisannya yang selalu menghiasi kolom opini Pos Kupang, Flores Pos, dan beberapa media online. Di Regina Pacis, guru Boy menakhodai majalah sekolah Suara Ratu Damai.
Selasa (29/03/18) sekitar pkl.10.00 saya sampai di kota dingin Bajawa. Setelah menunggu beberapa menit di pertokoan kota Bajawa, guru Boy datang menjemput saya. Dari sini kami menuju SMAK Regina Pacis. Setiba di Recis, datang ketua Agupena Ngada, guru Uno bergabung bersama. Saya memanfaatkan moment ini untuk melihat-lihat SMAK Recis dan mengabdikannya. Guru Boy memperkenalkan lembaga tempatnya mengabdi. Terutama upaya mereka menerbitkan majalah sekolah Suara Ratu Damai.
Kurang lebih tiga puluh menit berada di RECIS, kami bergerak ke pondok guru Boy. Di pondoknya, telah menunggu istrinya juga buah hati mereka. Guru Boy lalu menjamu kami santap siang. Selanjutnya kopi Bajawa dihidangkan untuk menghangatkan hawa dingin Bajawa. Dan jagung titi Nagi menemani diskusi, sharing pengalaman dan berbagi kisah kami siang itu.
Literasi menjadi topik utama. Dengan intensi yang sama kami berbagi kisah menghidupkan gerakan literasi di tempat masing-masing. Saya berkisah tentang perjuangan Agupena Flotim dibawa komando Maksimus Masan Kian dengan dukungan Gerakan Katakan dengan Buku besukan kakak John Lobo bergerak membagi bahan bacaan ke sekolah-sekolah di pelosok Flores Timur. Gerakan literasi yang dimotori Agupena telah menjangkau sekolah-sekolah yang tidak terjangkau. Dengan buku, Agupena menyentuh anak-anak yang tidak tersentuh.
Saya juga mengisahkan gerakan literasi “Jumat Membaca” di sekolah kami, SMPN 3 Wulanggitang. Di mana setiap hari Jumat, ada waktu khusus untuk membaca. Pada pkl.09.30 - 10.10 aktivitas lain dihentikan dan semua guru dan siswa wajib membaca. Siswa bersama wali kelas membaca di kelas. Lalu berdiskusi tentang, atau menceritakan apa yang dibaca.
Juga gerakan Komunitas Leragere di desa Boru. “Leragera” yang dikomandoi secara bersama Valentinus Ballack Wathon, Eduard Pope dan Ibu Siti Hayon merupakan komunitas literasi. Selain mendampingi anak-anak yang ada di desa Boru, komunitas Leragera menggelorakan literasi masuk dapur. Literasi masuk dapur ini mengajak ibu-ibu desa Boru untuk aktif membaca.
Guru Uno Igna Marry Ignatio membagi kisahnya menghidupkan literasi di SMPN 1 Bajawa. Sebagai koordinator literasi sekolah, dalam gerakan literasi, siswa tidak hanya membaca, tetapi menuangkan gagasan. Di sini siswa tidak hanya diajak untuk mencintai membaca, tetapi juga dilatih mengungkapkan ide atau gagasan mereka.
“Untuk anak-anak usia SMP, kita tidak bisa memaksa mereka untuk menulis opini atau esai. Karena itu saya selalu memberi topik tertentu, lalu meminta mereka menulis pandangan mereka tentang topik tersebut. Juga membantu mereka untuk menulis puisi atau cerpen” ungkap guru Uno.
Sahabat Bonefasius Zanda berkisah tentang gerakan literasi di SMAK Regina Pacis. Di Recis, gerakan literasi dihidupkan dengan kegiatan membaca dan menerbitkan majalah dinding secara berkala. Agar gagasan siswa itu tidak dibiarkan tercecer, tulisan yang diterbitkan di mading sekolah dibukukan dalam majalah sekolah dan buku antologi karya siswa.
Sebagai koordinator majalah sekolah Suara Ratu Damai, guru Boy mengatakan bahwa, siswa sebenarnya punya potensi untuk menulis. Mereka hanya butuh ruang untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan. “Anak-anak kalau diberi ruang pasti mereka akan mengekplorasikan seluruh potensi dan bakat mereka dalam menulis. Karena itu sekolah harus memberi ruang itu. Bisa dalam bentuk mading atau majalah,” kata guru Boy.
Selain di sekolah, kedua sahabat literasi ini juga bergelut di Rumah Baca Cerdas Ngada. Bersama kaka Emanuel Djomba, mereka menyediakan tempat dan bahan bacaan bagi anak-anak Ngada. Dan memberi pelatihan bagi siswa, dan warga dalam menulis.
Asosiasi Guru Penulis (Agupena) juga menjadi bahan diskusi kami. Terbesit kegelisahan dari kedua guru muda ini akan semangat guru-guru dalam menulis. Bagaimana guru mengajak siswa untuk membaca dan menulis kalau guru sendiri tidak membaca apalagi menulis. Kegelisahan jelas terpampang di wajah dua guru penuh inspirasi ini. Dan mereka percaya, Agupena adalah wadah yang tepat menjawabi kegelisahan mereka. Dengan hadirnya Agupena, diharapkan dapat memompa semangat guru dalam menulis.
Di bawah komando guru Uno, guru Boy dan beberapa guru lainnya, organisasi ini mulai dibentuk di kabupaten Ngada. Dan dalam waktu dekat Agupena Ngada ini akan segera dikukuhkan oleh Ketua Agupena Propinsi NTT, Bapak Thomas Sogen.
Matahari semakin bergerak ke barat. Waktu membatasi kami untuk berkisah lebih jauh dan bertutur lebih lama. Saya pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Borong, Manggarai Timur. Dalam semangat literasi, kami mengakhiri perjumpaan ini dengan bertukar bahan bacaan. Saya menyerahkan beberapa eksemplar majalah Warta Flobamora di mana saya menjadi kontributor wilayah Wulanggitang dan guru Boy menyerahkan beberapa majalah Suara Ratu Damai.
Salam Literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H