Sebagai peristiwa bersejarah, 17 Agustus disambut meriah seluruh rakyat Indonesia setiap tahun. Semua anak bangsa, tua atau muda terlibat dalam euphoria kemerdekaan.Â
Di seluruh penjuru negeri, mulai Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote bendera merah putih berkibar. Lagu-lagu kebangsaan dan perjuangan membahana di angkasa Nusantara.Â
Menengok sejarah, kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesai bukanlah suatu pemberian atau hadiah cuma-cuma dari penjajah. Tetapi diraih dengan perjuangan yang hebat.Â
Kemerdekaan direbut dengan tumpahan darah dan taruhan nyawa. Karena itu sukacita kemerdekaan pantas dirayakan dengan meriah.
Menoleh Sejarah
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia diwarnai pahit dan getir hidup dibawah penjajahan bangsa asing. Mula-mulanya Portugis yang pertama datang dan menjajah Indonesia pada tahun 1509. Menyusul kemudian bangsa Spanyol. Kedua bangsa ini sama-sama ingin menancapkan kekuasaan di Indonesia sehingga terjadilah perebutan wilayah kekuasaan. Spanyol kemudian mengalah dan menyerahkan Indonesia untuk dikuasai Portugis.
Namun kekuasaan Portugis pun berakhir ketika Belanda masuk pada tahun 1602. Sejak saat itu, Belanda membangun kekuasaanya di Indonesia. Misi bangsa penjajah tersebut selain memperluas wilayah kekuasaan, mereka juga mengambil kekayaan alam Indonesia dan menyebarkan agama.
Dari beberapa bangsa penjajah, Belanda tercatat paling lama. Pada tahun 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Bersamaan dengan itu kekuasaan Belanda di Indonesia pun berakhir. Kekuasaan atas Indonesia kemudian diambil alih oleh Jepang. Masa pendudukan Jepang di Indonesia pun dimulai. Namun itu tidak berlangsung lama karena pada tahun 1945 Jepang ditaklukkan pasukan sekutu.
Kekalahan Jepang atas sekutu menjadi moment bagi bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan. Deklarasi kemerdekaan itu dibacakan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jln. Pegangsaan Timur, Nomor 56, Jakarta. Lonceng kemerdekaan pun bergema ke seluruh pelosok nusantara dan penjuru dunia.
Proklamasi kemerdekaan berarti kita menyatakan hidup sebagai sebuah bangsa yang bebas. Dengan memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia ingin mengakhiri segala bentuk diskriminasi yang mengekang. Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan kemerdekaan adalah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Sesungguhnya perjuangan merebut kemerdekaan bukanlah suatu yang gampang. Proklamasi itu dideklamasikan setelah melewati perjuangan dalam rentang waktu yang panjang dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Kemerdekaan itu direbut dengan pertaruhan nyawa dan tumpahan darah para pejuang.
Â
Gema KemerdekaanÂ
Tahun ini adalah tahun kedua kemerdekaan bangsa dirayakan di tengah pandemik korona. Perayaan kemerdekaan pun tidak semeriah sebelum virus korona melanda dunia. Penerapan pembatasan kegiatan masyarakat membatasi ruang gerak kita. Larangan berkumpul dalam jumlah yang banyak membuat peringatan hari kemerdekaan harus kita rayakan secara sederhana.
Virus korona memang tidak mampu membunuh semangat kita memperingati hari kemerdekaan bangsa tercinta ini. Memasuki bulan kemerdekaan, setidaknya di tempat tugas saya, bendera Merah Putih tetap dikibarkan. Lagu-lagu perjuangan terus diputar. Upacara bendera dari pusat hingga di tingkat desa pun tetap digelar. Tentu dengan membatasi jumlah peserta dan penerapan protokol kesehatan secara baik.
Setiap kali merayakan kemerdekaan bangsa, memori saya selalu berputar sekedar bernostalgia dengan masa lalu. Mengenang kembali perayaan kemerdekaan semasa kecil dulu (saat SD dan SMP). Walau hanya di tingkat desa, moment kemerdekaan selalu disambut meriah.
Di desa yang jauh dari hiruk pikuk dan keramaian, pekik kemerdekaan bergema lantang. Aneka pertandingan dan perlombaan antar dusun diadakan seperti pertandingan bola voli, perlombaan lari karung, tarik tambang, junjung botol, lomba kebersihan lingkungan, dll. Pada malam menjelang 17 Agustus, digelar pementasan tarian dan acara hiburan. Tarian seperti tari perang, tihir peir, soka, tandak atau hamang dipentaskan.
Singkatnya perayaan kemerdekaan dahulu dikemas dengan meriah. Semua masyarakat bergembira ria. Benar-benar pesta rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa walau jauh di pelosok semangat nasionalisme sebagai anak bangsa tidak luntur. Ada rasa memiliki dan menjadi bagian dari bangsa tercinta ini.
Merdeka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bebas dari penjajahan, perhambaan; berdiri sendiri; tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. Sejalan dengan definsi tersebut dan kondisi faktual, bangsa Indonesia memang sudah merdeka. Bangsa penjajah sudah angkat kaki dari bumi Nusantara.
Pertanyaannya, apakah cita-cita kemerdekaan sebagaimana yang diperjuangkan para pahlawan telah terpenuhi? Apakah rakyat Indonesia sudah sejahtera, cerdas dan sehat lahir-bathin setelah 76 tahun merdeka?
Diakui bahwa sudah banyak perubahan yang kita alami. Begitu banyak kemajuan telah kita capai setelah merdeka. Namun harus berani dikatakan bahwa cita-cita kemerdekaan yang diusung para pejuang dahulu belum sepenuhnya tercapai. Kemerdekaan sesungguhnya masih menjadi utopia. Banyak persoalan mendasar yang menjadi pekerjaan rumah "bangsa" yang belum diselesaikan hingga menginjak usia ke 76.
Jokowi pada periode pertama pemerintahannya menitikberatkan pembangunan pada infrastruktur. Namun keluhan masyarakat akan layanan: air, jalan dan listrik (AJAL) masih terdengar nyaring. Pembangunan infrastruktur memang dilakukan secara massif, tetapi belum terwujud secara merata. Belum menyentuh masyarakat di pelosok tanah air. Malah bagi mereka, tiga kebutuhan dasar: air, jalan dan listrik dipelintirkan telah menemui AJAL-nya.
Sementara bidang pendidikan juga mengalami problem serius. Kurikulum kita masih gonta-ganti. Nasip guru-guru honor yang diupah secara tidak layak semakin tidak menentu. Cerita anak negeri yang kaya sumber daya alam yang menimba ilmu di fasilitas pendidikan serupa "kandang" bukanlah dongeng.
Dalam bidang politik, para politisi menunjukkan kelakuan yang semakin aneh. Mereka lupa akan nasib rakyat yang diwakilinya tetapi sibuk memperkaya diri. Wakil rakyat begitu bernapsu menambah jumlah pimpinan walau infrastruktur jalan di pelosok negeri belum tersentuh aspal. Walau masih ada saudara-saudara kita di pelosok negeri belum diterangi listrik tetapi gaji anggota dewan terus dinaikkan.
Belum lagi bicara soal persatuan dan kesatuan bangsa. Rasa nasionalisme mulai luntur. Ujaran kebencian dan berita-berita hoax yang berseliweran telah menggeser budaya bangsa yang saling menghormati dan menghargai. Kita menghadapi ujian tersulit dalam sikap rela berkorban dan mengutamakan kepentingan umum. Tanpa kita sadari, rumah NKRI sedang diterjang badai perpecahan.
Kondisi di atas diperparah denga korupsi yang semakin menjamur. Semakin banyak koruptor yang dijerat KPK, eskalasi kasus-kasus korupsi bukan menurun tetapi semakin masif. Korupsi bagai kanker yang menyerang semua sendi kehidupan dan menyebar di seantero negeri. Bila tidak ditangani dengan baik, cepat atau lambat, kondisi bangsa ini akan memburuk karena digerogoti korupsi.
Fakta di atas mengingatkan kita akan pesan founding father, Soekarno, "Sesungguhnya perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri." Ya, kita sudah bebas merdeka dari jajahan bangsa asing, tetapi kita belum merdeka dari jajahan saudara bangsa sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H