Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guruku Sayang, Guruku Malang

11 Juni 2021   14:43 Diperbarui: 11 Juni 2021   14:54 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pendidik SMPN 3 Wulanggitang, Hewa. Dok.pribadi

Dunia pendidikan tanah air kembali berduka. Kabar duka kembali datang dari sekolah menyusul terjadinya tindakan penikaman oleh orangtua siswa terhadap kepala SDI Ndora, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Ngada pada Selasa (08/06/2021). Peristiwa yang terjadi di sekolah tersebut membuat sang guru harus dirawat di rumah sakit Ende. Namun bantuan medis yang diberikan tidak dapat menolong sang guru hingga akhirnya menemui ajal. Sang guru meninggal dengan tenang pada keesokan harinya, Rabu (09/06/2021). Kita doakan semoga sang Kepsek mendapat tempat yang layak di surga.

Sebagaimana diberitakan (florespos.net, /09/06/2021), peristiwa penganiayaan terhadap guru di sekolah tersebut dipicu tindakan sekolah yang memulangkan siswa yang merupakan anak pelaku pada saat ujian akhir semester karena uang komite sekolah belum dilunasi oleh orangtua. Ayah siswa tidak menerima tindakan guru dan mendatangi sekolah. Setiba di sekolah, dengan membawa pisau pelaku menunjuk-nunjuk para guru sebelum menikam kepala sekolah di perut bagian kanan.

Tindakan kekerasan terhadap guru ini tidak dipisahkan dari tindakan sekolah memulangkan siswa. Peristiwa pemulangan siswa seperti ini bukan hal baru dan juga bukan baru terjadi sekarang. Tindakan ini sering dilakukan sekolah pada saat menjelang ujian semester. Namun tindakan demikian dilakukan bukan tanpa dasar. Dan yang sering menjadi alasan dibaliknya adalah orangtua (siswa) belum memenuhi kewajiban melunasi uang komite.

Ketika tindakan yang diambil sekolah ini menjadi konsumsi publik, muncul sikap pro-kontra. Ada yang mengamini, ada yang mengecam. Tentu dengan alasan masing-masing. Biasanya mereka yang mengkritik sekolah dengan dalih bahwa tindakan memulangkan siswa menjadikan siswa sebagai korban. Pembayaran uang komite merupakan tanggungjawab orangtua. Siswa tidak bersalah atas kelalaian orangtua. Karena itu tidak pantas kelalaian orangtua dilimpahkan atas anak. Anak tetap harus mendapat hak atas pendidikan walau uang komite belum dilunasi orangtua. Intinya jangan mengorbankan anak didik.

Sementara bagi mereka yang mendukung tindakan sekolah memulangkan siswa beralasan bahwa antara hak dan kewajiban harus berjalan seimbang. Siswa sudah mendapatkan hak atas pendidikan di sekolah maka orangtua harus segera melunasi kewajiban membayar iuran komite sekolah. Kewajiban terhadap sekolah tidak boleh diabaikan agar pendidikan tetap berjalan normal. Karena itu memulangkan siswa adalah tindakan tepat dengan maksud orangtua bisa secepatnya memenuhi kewajibannya.

Mencermati argumentasi masing-masing pihak di atas, semuanya dapat diterima. Anak memang harus dilindungi. Dan hak anak mendapatkan pendidikan harus dijamin. Di lain pihak, kebutuhan hidup guru terus menuntut pemenuhan. Karena itu melunasi kewajiban untuk membayar gaji guru honorer tidak boleh ditunda-tunda.

Sebagai guru saya yakin, bahwa tindakan memulangkan siswa yang dilakukan sekolah diambil sebagai keputusan akhir. Di mana proses pemberitahuan atau penyampaian ke orangtua telah dilakukan. Artinya segala upaya telah dilakukan sekolah namun response orangtua terhadap bisa jadi kurang baik. Dengan memulangkan siswa sekolah tidak bermaksud mengorbankan siswa. Dengannya diharapkan ada respons yang positif dari pihak orangtua.

Di sini komunikasi antara orangtua dan guru sangat penting. Sikap saling terbuka menjadi pintu masuk mengurai persoalan ini. Bila orangtua belum bisa melunasi iuran komite mesti ada penyampaian secara terbuka kepada sekolah. Toh, keterlambatan pembayaran iuran komite sekolah tidak hanya terjadi di satu sekolah saja. Apabila komunikasi terbangun dengan baik, tindakan memulangkan siswa tidak akan dilakukan sekolah.

Tentang iuran komite yang menjadi dasar pemulangan siswa, di kalangan masyarakat awam banyak orang masih mempertanyakan hal tersebut. Mengapa harus ada uang komite sementara sekolah sudah mendapat dana Bantuan Operasional Sekolah dari pemerintah? Pemahaman ini tidak keliru tetapi tidak utuh. Sebagai guru, sependek yang saya tahu, pemanfaatan uang komite lebih banyak diperuntukkan bagi pembayaran gaji guru honorer selain kegiatan pendidikan yang tidak dibiayai dari dana BOS.

Sementara dana BOS yang diterima sekolah penggunaannya sudah diatur dalam petunjuk teknis. Karena itu segala aktivitas di sekolah tidak semuanya dibiayai dari dana BOS. Termasuk di dalamnya pembayaran gaji guru honorer. Aturan dana BOS memperbolehkan hanya 50 persen total dana BOS bagi sekolah negeri untuk membayar gaji guru honorer. Itupun tidak semua guru honorer di sekolah mendapatkannya. Hanya guru honorer yang sudah memiliki NUPTK yang boleh mendapat gaji dari dana BOS. Sementara guru honorer yang tidak memiliki NUPTK tidak berhak mendapat gaji dari dana BOS.

Sementara realitas di sekolah masih ada guru honorer yang belum memiliki NUTPK. Untuk mengatasi masalah ini, maka iuran komite dari orangtua siswa menjadi solusi. Tentang guru honorer, nasipnya memang masih memprihatinkan. Terutama soal upah, sudah menjadi rahasia umum bahwa besarannya masih jauh dari layak. Guru honorer masih diupah lebih rendah dari UMR.

Tidak seperti guru negeri yang memiliki gaji sama berdasarkan masa kerja dan golongan, besaran gaji guru honorer bervariasi setiap sekolah. Memprihatinkan, di tengah biaya kebutuhan hidup yang terus mencekik leher, seorang guru honorer masih dibayar dengan Rp. 300.000 setiap bulan. Dan bayangkan, gaji guru yang demikian itu harus ditunggak pembayarannya sampai berbulan-bulan karena mandeknya uang komite.

Mari kita mendudukkan persoalan ini secara proporsional tanpa mengorbankan hak anak akan pendidikan dan juga tidak mengabaikan hak hidup guru yang layak.

Refleksi Atas Kasus Ibu Azi Delfina

Apa pun alasan di baliknya, peristiwa penikaman yang mengakibatkan tewasnya ibu Azi Delfina harus dikutuk. Ini adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Peristiwa ini merefleksikan beberapa hal berikut. Pertama, kurangnya rasa hormat akan guru. Peran guru yang begitu mulia dalam mendidik dan membimbing siswa sudah tidak dihargai. Di masa lalu, guru sangat dihormati. Seiring perkembangan jaman, penghormatan terhadap guru semakin pudar.

Menurunnya sikap respect terhadap guru merupakan persoalan umum yang dihadapi dunia pendidikan sekarang. Lunturnya rasa hormat pada guru telah menjadi fenomena umum. Beraneka macam perlakuan buruk yang diterima guru menunjukkan lunturnya sikap hormat pada guru. Tidak hanya dikalangan siswa, tetapi juga orangtua dan masyarakat. Di kalangan murid, tidak segan ada yang melawan guru. Demikian pula orangtua dan masyarakat begitu ringan tangan terhadap guru.

Kedua, tidak adanya jaminan keamanan terhadap guru. Aturan yuridis perlindungan profesi guru memang sudah ada. Namun semua itu belum mampu menjawab keresahan guru akan rasa aman dalam menjalankan tugas profesi. Aneka tindakan kekerasan terhadap guru terus berulang. Perlakuan kasar yang melukai bathin maupun fisik terus dialami guru.Kekerasana verbal maupun fisik yang menimpa guru kian hari kian akut.

Sayang, kekerasan terhadap dilakukan baik oleh siswa yang dididik guru maupun orangtua yang anaknya didiknya guru. Tindakan kekerasan yang terus dialami guru menunjukkan bahwa hantu kekerasan terhadap guru masih bergentayangan. Hantu kekerasan yang terus mengancam guru ini tentu menimbulkan rasa takut dalam diri guru.

Ketiga, rendahnya perhatian akan nasip guru. Hal ini berkaitan dengan penghargaaan akan dedikasi dan pengorbanan guru. Yang dimaksudkan di sini adalah nasip guru honorer. Perlakuan yang berbeda atas status guru membuat nasib guru honorer di negeri ini tidak menentu. Panggilan hidup menjadi guru (honorer) tidak memberi jaminan hidup yang layak. Karena upah yang diterima guru tidak sebanding dengan dedikasi dan pengorbanan yang diberikan.

Kiranya kekerasan yang menumbalkan Ibu Azi Delfina membuka mata hati semua pihak untuk lebih menghormati guru, memberikan rasa aman bagi guru dan tidak memandang rendah nasip guru. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun