Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Vaksinasi Corona, Pembukaan Sekolah dan Kesiapan Kita

14 April 2021   07:37 Diperbarui: 14 April 2021   07:39 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kunjungan ke rumah oleh guru dalam pembelajaran jarak jauh di SMPN 3 Wulanggitang, Hewa. Dok.pribadi

Ditemukannya vaksin bagai secercah cahaya di lorong gelap pandemi korona. Karena setahun lebih diserang Covid-19, nyaris tak ada sektor kehidupan yang luput dari dampak destruktifnya. Pemerintah pun bergerak cepat melakukan vaksinasi. Indonesia termasuk negara yang paling cepat melakukan vaksinansi.

Walau di tengah publik masih muncul keraguan tentang keampuhan vaksin dan dampak yang timbul akibat minimnya sosiaslisasi dan kesimpangsiuran informasi tentang vaksin, pemerintah tetap bertekat melakukan vaksinasi. Vaksinasi adalah salah satu jalan untuk memulihkan segera mungkin kondisi yang porak poranda akibat serangan Covid-19.

Proses vaksinasi masal dan gratis telah dilakukan. Untuk menepis keraguan publik, Presiden Jokowi tampil sebagai orang pertama yang divaksin, Rabu, 13 Januari 2021 di Istana Merdeka, Jakarta. Bersamanya ikut beberapa public figure dari berbagai kalangan demi meyakinkan masyarakat. Ini menjadi titik awal pelaksanaan vaksinasi nasional dalam upaya penangan pandemic Covid-19.

Guru merupakan salah satu kelompok prioritas yang menjadi target untuk divaksin. Vaksinasi untuk kelompok guru telah dimulai, Rabu, 24 February 2021. Pemerintah menargetkan semua guru dan tenaga kependidikan selesai divaksin bulan Juni 2021. Bila target ini dicapai, pembukaan sekolah pada awal tahun pelajaran di bulan Juli dapat dilakukan.

Membuka Sekolah

Keinginan membuka kembali sekolah dapat dimaklumi. Sejak kegiatan pembelajaran konvensional mulai dari TK/ PAUD hingga perguruan tinggi dihentikan dan diganti dengan pembelajaran jarak jauh, dampak negatif yang timbul dari aktivitas belajar dari rumah ini begitu besar.

Menurut prediksi Bank Dunia dan UNESCO dampak pandemi Covid-19 pada pendidikan adalah menurunnya rata-rata lama sekolah dari 7,9 tahun menjadi 7,6-7,0 tahun. Angka putus sekolah meningkat, sebanyak 24 juta siswa dari pendidikan pra sekolah (PAUD) hingga perguruan tinggi putus sekolah akibat pandemi. Di mana pendidikan tinggi akan mengalami tingkat putus sekolah tertinggi dan proyeksi penurunan pendaftran sebesar 3,5% atau total 7,9 juta siswa; pendidikan anak usia dinia (PAUD) akan mengalami penurunan partisipasi sebesar 2,8% atau total berkurang 5 juta anak; sebanyak 0,27 persen siswa sekolah dasar dan 1,48 persen siswa sekolah menengah beresiko putus sekolah.

Dampak lain adalah menurunkan capaian hasil ujian/ pendidikan sekitar 25%. Meningkatnya kemiskinan belajar (learning poverty). Sebelum pandemic 53% anak di negara berpenghasilan rendah dan menengah menderita kemiskinan belajar atau tidak dapat membaca dan memahami teks sederhana di usia 10 tahun. Hilangnya investasi pemerintah untuk pendidikan dasar sebesar 16% atau setara 10 triliun dolar AS jika sekolah ditutup selama lima bulan. Memperlebar kesenjangan pendidikan antara siswa dari kelompok ekonomi atas dengan siswa dari kelompok ekonomi bawah[i]. (Kompas.id, 02/03/2021)

Efek destruktif pandemi Covid-19 terhadap pendidikan di atas membulatkan tekat pemerintah membuka kembali sekolah segera setelah vaksinasi terhadap guru dilakukan. Bulan Juli sebagai awal tahun pelajaran diharapkan seluruh sekolah boleh bertatap muka kembali.

Mendikbud dalam rapat koordinasi dengan Komisi X DPR mengungkapkan alasan pembukaan sekolah setelah vaksinasi guru dan tenaga kependidikan rampung. Menurutnya Indonesia sangat tertinggal dalam kebijakan pembukaan sekolah dari negara lain yang juga terdampak Covid-19. Selain itu dari sisi kesehatan dirasa aman semua guru divaksin. Karena resiko tinggi Covid-19 umumnya pada kelompok usia 31-51 tahun. Sementara pada anak-anak yang terinfeksi mayoritas bergejala ringan[ii] (cnnindonesia.com, 18/03/202)

Walau pemerintah optimis pembukaan sekolah akan aman, di kalangan guru belum satu suara. Masih ada pro dan kontra. Guru yang setuju dengan pertimbangan pembelajaran jarak jauh sangat menguras energy dan biaya. Terutama bagi sekolah yang berada di daerah 3T yang tidak bisa menjalankan pembelajaran online karena keterbatasan sarana pendukung. Pembelajaran jarak jauh dijalankan dengan melakukan home visit.

Guru harus mengunjungi siswa dari rumah ke rumah. Ini butuh waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Sebagai guru yang mengajar di daerah 3T dan selama pandemi Covid-19 melaksanakan PJJ secara luring, saya sungguh mengalami dan merasakan beratnya perjuangan guru di pelosok negeri dikala pandemi korona ini.

Guru yang menolak meminta pemerintah agar tidak terburu-buru membuka kembali sekolah di awal tahun pelajaran baru. Survey Wahana Visi Indonesia, Kemdikbud dan Predikt menunjukkan bahwa guru khawatir bila sekolah dibuka kembali peserta didik tertular Covid-19, diri sendiri tertular korona, tidak dapat melakukan pembelajaran dengan nyaman, tidak bisa menjalankan pembelajaran tatap muka dengan nyaman dan efektif, orangtua atau penghuni rumah lainnya tertular Covid-19[iii] (Kompas.id, 08/03/2021).

Kekhawatiran guru ini beralasan karena vaksinasi hanya dilakukan terhadap pendidikan dan tenaga kependidikan. Sementara siswa yang secara kuantitas jauh lebih banyak dari guru belum divaksin. Ini berarti kekebalan kelompok (herd immunity) Covid-19 di sekolah belum terbentuk. Karena itu resiko penularan di sekolah bisa terjadi.

Kesiapan Kita

Membuka sekolah berarti sekolah harus dibuka dengan aman dan efektif. Karena itu bukan soal cepat atau lambat, tetapi masalah kesiapan. Sekolah harus dipastikan benar-benar siap, baik secara infrastruktur maupun protokol kesehatan.

Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran pada tahun ajaran tahun 2020/ 2021 dan tahun akademik 2020/ 2021 di masa pandemi Covid-19 telah memberi acuan teknis bagaimana pembelajaran tatap muka di sekolah harus dijalankan di masa pandemi korona. Penyediaan infrastruktur dan kepatuhan menjalankan protokol kesehatan menjadi syarat penting.

Namun hingga kini masih banyak sekolah belum memenuhi persyaratan dimaksud. Data Kemdikbud tentang kesiapan belajar menunjukkan bahwa baru 280.372 atau 52,44 persen sekolah yang mengisi daftar kesiapan proses belajar mengajar di masa pandemi, itu pun baru sekitar 10 persen yang siap[iv] (Kompas.id, 19/03/2021).

Ini baru masalah teknis, belum bicara implementasi. Pengalaman empiris sebagai guru memunculkan keraguan akan hal ini. Dalam beberapa kesempatan melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan sistem shif, setiap hari selalu ada anak yang harus dipulangkan karena datang ke sekolah tanpa memakai masker. Di kalangan guru pun masih ada yang belum taat menjalankan aturan kesehatan.

Ini masalah kepatuhan. Kita belum sadar menjalankan protokol kesehatan secara baik. Kesadaran untuk beradaptasi dengan kenormalan baru belum tumbuh dalam diri.  Aturan menerapkan 3M dirasa sebagai suatu paksaan. Karena itu pembukaan sekolah masih rawan menimbulkan kluster pendidikan bila hanya mengandalkan vaksinasi guru dan mengabaikan infrastruktur dan penerapan protokol kesehatan.

Persoalan lain adalah ketersediaan air. Bulan Juli nanti Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Sebagaimana jamak ketersediaan air berkurang di musim tersebut. Kekurangan atau ketiadaan air akan menyulitkan dalam mencuci tangan. Sebagai salah satu cara melindungi cirri dari virus korona, menurut petunjuk Kemenkes dalam mencuci tangan dibutuhkan air bersih dan mengalir.

Situasi pendidikan saat ini memang dilematis. Bagai berada di persimpangan jalan pilihan antara meneruskan PJJ atau melakukan tatap muka. Namun apapun pilihan yang diambil semua mengandung resiko. Membuka sekolah berarti menerima resiko tertular korona, melanjutkan BDR berarti mempenpanjang dampak negative PJJ bagi peserta didik.

Tetapi bila akhirnya sekolah tetap dibuka, kerja sama semua stakeholder pendidikan penting dilakukan. Komponen yang terkait langsung dengan pembelajaran di sekolah harus menjalankan tugasnya dengan baik. Orangtua tidak hanya ikut menandatangani surat pernyataan menyetujui pelaksanaan pembelajaran tatap muka sebagai syarat formal-administratif tetapi harus ikut memantau anak dalam menerapkan aturan kesehatan.

Begitu juga guru, harus dapat memastikan siswa tidak boleh berkerumun, wajib mencuci tangan sesudah melakukan aktivitas dan bermasker ketika berada di lingkungan sekolah. Namun sebelum menjalankan peran mengawasi siswa, baik guru maupun orangtua harus memastikan bahwa masing-masing kita telah menjalankan aturan kesehatan dengan baik dan benar. Ini adalah pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan sebelum pembukaan sekolah benar-benar dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun