Bagi politikus PKB ini, guru adalah profesi yang membutuhkan stabilitas hidup tinggi bagi pelakunya. Guru tidak hanya dituntut punya skill mengajar saja, tetapi juga harus menjadi teladan moral maupun spiritual. Untuk mencapai standar tersebut, perlu ada jaminan kesejahteraan maupun karier bagi pendidik di negeri ini.
Suara penolakan dari berbagai pihak ini adalah wajar. Karena rencana pemerintah menutup pintu CPNS bagi guru selain sebagai bentuk diskriminasi juga adalah suatu pengingkaran akan jasa para guru terhadap bangsa dan negara Indonesia. Eksistensi guru sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Pengorbanan guru sudah mewarnai sejarah perjalanan bangsa sejak zaman pra kemerdekaan. Ketika Indonesia merdeka, peran guru semakin penting dalam membangun bangsa dengan mempersiapkan generasi muda masa depan bangsa.
Dalam catatan sejarah, peran guru bagi bangsa Indonesia sangat besar. Hingga abad ke-19 kaum gurulah yang mempromosikan kebebasan. Pada masa itu guru merupakan elit intelektual yang memelopori gerakan kemajuan. Peran guru sebagai pelopor kemajuan membuka jalan bagi kebangkitan nasional dan mendorong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di mas sekarang guru punya ketangguhan yang sama dalam memajukan Indonesia. Karena situasi yang dihadapi sekarang berbeda dengan dulu, gerakan intelektual guru sekarang adalah mengajak masyarakat meningkatkan kualitas hidup melalui pendidikan tidak hanya demi agregat IPM tetapi juga meningkatkan kapabilitas siswa (Anita Li, Kompas, 25/11/2020).
Melihat alasan di balik rencana pemerintah mem-PPPK-kan guru adalah sesuatu yang tidak logis. Dimana persoalan distribusi guru yang tidak merata menjadi alasan dibalik munculnya rencana ini. Sebagaimana dikatakan Kepala BKN, "Karena kalau CPNS setelah mereka bertugas 4 sampai 5 tahun biasanya ingin pindah lokasi. Dan itu menghancurkan sistem distribusi guru secara nasional. Dua puluh tahun kami berupaya menyelesaikan itu tetapi tidak selesai dengan sistem PNS."
Memang harus diakui bahwa salah satu persoalan terkait guru di Indonesia saat ini adalah masalah distribusi guru yang tidak merata di setiap sekolah. Ada penumpukan guru di suatu sekolah atau daerah tertentu. Di suatu sekolah atau daerah terdapat kelebihan guru. Sementara di sekolah atau daerah lain malah kekurangan guru. Kekurangan guru banyak dialami di daerah terpencil dan sekolah swasta. Sementara surplus guru terjadi di daerah perkotaan dan sekolah negeri.
Tidak dapat dipungkiri ada oknum guru yang lebih senang hidup di kota ketimbangan mengabdi di daerah terpencil. Selain mental guru ini, soal lain berkaitan dengan distribusi guru adalah kentalnya politisasi guru. Otonomi daerah dan desentralisasi di bidang pendidikan memberi kuasa kepada Bupati untuk mengatur daerahnya sendiri termasuk guru.
Kekuasaan mutlak kepala daerah ini ikut berpengaruh terhadap nasib guru. Politisasi guru marak terjadi. Akibatnya suksesi kepala daerah "makan korban" dari pihak guru. Dengan kewenangan yang dimiliki, seorang kepala daerah dapat dengan seenaknya memutasi guru bila tidak mendukungnya dalam suksesi politik.Â
Bila pokok soalnya adalah masalah distribusi guru, maka rencana mem-PPPK-kan bukanlah solusi yang tepat lagi bijak. Untuk itu perlu dibuat suatu aturan yang mengikat semua guru PNS untuk tidak semaunya pindah tugas. Selain itu perlu dipikirkan wacana penarikan kembali guru menjadi pegawai pusat demi menghindari politisasi guru di level local.
Kebijakan ini pemerintah ini jelas menjadikan guru sebagai anak tiri di negeri ini. Karena itu bagi semua guru, mari terus berjuang menolak tindakan diskriminatif ini. Guru adalah anak kandung negeri ini. Karena itu tidak ada alasan bagi pemerintah untuk membatalkan rencana mem-PPPK-kan guru ini. Profesi guru dengan beban dan tanggung jawab yang berat harus mendapat penghargaan yang layak. Dan martabat keprofesian guru harus dijaga. Demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H