Prinsipnya konflik tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan. Kerukunan hidup harus dijaga. Kedamaian mesti dipelihara, dirawat dan dipupuk. Â
Di sini kerukunan, saling membantu dan menolong bukanlah barang langka. Kedamaian bukan suatu utopi.
***
"Atan, apa cita-cita kamu?" Tanya pada salah seorang murid kelas XII IPA. "Saya mau jadi pastor om Pa", jawabnya. "Wah bagus sekali. Kenapa kamu jadi pastor?" tanyaku menyelidiki. "Saya ingin mengikuti Tuhan dengan melayani sesama", jelasnya. "Dulu Pak guru juga bercita-cita menjadi pastor. Kalau ada murid pak guru yang menjadi pastor, pak guru sangat senang. Kamu harus mewaspadai godaan 3T: Taktha, harTa, dan waniTa jika ingin menjadi pastor", kata ku memotivasinya.
"Kalau kamu Odi, apa cita-citamu?" tanyaku pada salah seorang siswi kelas XII Bahasa pada lain kesempatan. "Saya ingin menjadi bidan om pa, karena saya ingin membantu mama di kampung saya. Mereka kalau melahirkan tidak mau ke puskesmas. Kasihan, ada bayi yang tertolong tapi tidak sedikit yang meninggal. Tapi ...", kata-kata Odi terputus. "Tapi kenapa?" aku bertanya menyelidik. "Orangtua ku tidak mengijinkan saya untuk kuliah. Kata mereka SMA saja sudah cukup. Anak perempuan kalau sekolah tinggi juga nanti akan kembali ke dapur", Odi menjelaskan.
***
Bel lonceng sekolah berdentang panjang. Memanggil warga SMANDU Elar untuk berkumpul. Anak-anak berbaris rapi di halaman sekolah. Halaman yang tidak seberapa luas itu digunakan untuk apel pagi dan doa bersama mengawali kegiatan belajar mengajar saban hari.
Doa sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas nafas kehidupan di hari yang baru. Dan apel pagi. Bukanlah seremonial belaka. Tak sekedar menghormati bendera merah putih atau menyanyikan Indonesia Raya. Namun dari sini kebersamaan, kedekatan, hubungan baik guru dan siswa dibangun menuju pembelajaran yang menyenangkan di ruang kelas.
Kelas yang jauh dari layak sebagai tempat belajar berdasar standar nasional. Gedungnya masih kurang. Perpustakaan belum ada. Laboratorium apalagi. Delapan standar nasional pendidikan belum terpenuhi di sekolah ini, terutama standar sarana-prasarana dan standar pendidik dan tenaga kependidikan.
Keterbatasan tidak menyurutkan semangat anak-anak menggapai mimpi. Tidak menghalangi tekad mereka meraih cita-cita. Keterbatasan justru mengompori semangat belajar agar tetap menyala.
Ditengah keterbatasan, tidak terdengar keluhan apalagi patah semangat. Keterbatasan bukan belenggu yang merantai untuk maju.