Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepenggal Kisah dari Wukir

9 Mei 2020   11:19 Diperbarui: 9 Mei 2020   11:11 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SMAN 2 Elar, Wukir. Dok. pribadi

Lubang dan bebatuan menjadi teman setia perjalanan. Vega R terus merayap pelan membelah bebatuan yang berserakan di jalan. Ganasnya kondisi jalan membuat kami harus berhati-hati. Rasa cemas terus berkecamuk dalam dada. Berharap tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Deru suara motor terus mengingatkan kami pada pesan Ibu penjual bensin untuk selalu waspada.

Perjalanan yang menantang dan menguras tenaga. Rasa letih memang. Namun keletihan itu terbayar tuntas ketika menyaksikan keindahan alam sepanjang perjalanan. Memasuki wilayah Wukir, dari jalan yang rusak panorama alam yang sangat indah berupa air terjun dan areal persawahan yang membentang disuguhkan secara gratis. Karunia Tuhan itu bebas dinikmati tanpa membayar sepersen pun.

Tak bosan-bosan kami menghentikan perjalanan untuk menikmati keindahan dan kesuburan alam wilayah Selatan Manggarai Timur. Sampai akhirnya tiba di Wukir saat jarum jam sudah menyerobot angka 03.30.

Kondisi jalan ke Wukir. Dok. pribadi
Kondisi jalan ke Wukir. Dok. pribadi

***

Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui fentilasi. Memaksa kami yang masih lelap untuk bangun. Suara mesin penggiling padi seolah memanggil paksa untuk segera beranjak dari pembaringan. Rasa lelah membuat kami enggan meninggalkan tempat tidur.

Di luar pintu kamar terdengar ketukan dan panggilan, "Om Pa, bangun makan," suara Niko, karyawan pastoran. Segera ku raih HP dan melihat jam. Pukul delapan lewat lima belas menit. Aku segera bangun dan membuka pintu. "Makan dulu Om Pa, kami sudah makan. Makanan ada di atas meja," kata Niko begitu saya membuka pintu.

Itu awal kisah. Hari pertama di tempat pengabdian. Namanya pertama. Semua serba baru. Tempat baru. Suasana baru. Bahasa baru. Budaya baru. Orang-orang baru. Hidup seperti mulai dari nol. Harus start dari titik awal. Ada rasa cemas mula-mula. Namun seiring berjalan waktu, keakraban dan keramahan penduduk menepis semua keraguan itu. Kami hidup seperti bersama keluarga sendiri. Seperti tinggal di rumah. Seperti berada kampung halaman sendiri.

Hari-hari pengabdian berikut kami lalui dengan penuh kegembiraan. Hidup, tinggal, berbaur bersama orang Wukir memberi warna tersendiri. Nun jauh dari keramaian dan hingar bingar kota, Wukir menyuguhkan pemandangan lain. Meruntuhkan kesan pertama ketika aku dan teman akan ditempatkan di Wukir.

Ya, siapa yang tidak tahu kalau Wukir adalah daerah konflik. Masalah perbatasan antara kabupaten Manggarai Timur dan Ngada. Bisa saja sewaktu-waktu akan meletus perang tanding.

Tapi itulah kesan. Tidak selamanya kesan itu benar. Masyarakat hidup aman-aman saja. Mereka tidak terprovokasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun