Tahun 2018, ketika sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta diumumkan, Felix K. Nesi dengan novel Orang-Orang Oetimu keluar sebagai pemenang. Kemenangan ini melambungkan nama Felix, tentu saja.
Karya Felix Nesi ini menuai apresiasi positif dan dipuji banyak kalangan. "Sebuah contoh fiksi etnografi yang digarap dengan sangat baik", begitu pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2018.
Saya pun jadi penasaran. Timbul hasrat memiliki Orang-Orang Oetimu. Ingin membaca seperti apa "isi" novel tersebut. Awal tahun 2020, keingingan itu baru terpenuhi.
Oetimu yang menjadi judul merupakan latar cerita novel tersebut. Oetimu adalah sebuah daerah di pelosok Nusa Tenggara Timur.
"Oetimu terletak di ujung selatan kecamatan Makmur Sentosa, menghubungkan kota kecamatan dengan kampung-kampung lama" (hal.54).
Orang-Orang Oetimu mengisahkan kehidupan social orang Timor. Berbagai bidang kehidupan orang Timor dipotret dalam novel ini. salah satu adalah pendidikan.
Pendidikan yang layak bagi orang Oetimu adalah sebuah utopi. Hak untuk mendapatkan pendidikan dengan fasilitas yang layak adalah mimpi yang entah kapan akan terwujud. Pendidikan di Oetimu dijalankan dalam kondisi (fasilitas) yang memprihatinkan.
"Gedung SMA itu sederhana saja, hanya los panjang berdiding bebak beratap alang-alang yang disekat menjadi tiga ruang; satu ruang kelas, satu ruang kepala sekolah dan satu ruang guru. Siswanya banyak tapi hanya sedikit yang berseragam. Banyak dari mereka yang tidak memakai sepatu dan tidak mempunyai topi" (hal.60).
Pendidikan yang baik dan bermutu selalu mahal dan elitis. Walau program wajib belajar sembilan tahun sudah digalakkan, namun pendidikan gratis belum sepenuhnya dinikmati. Orang kampung Oetimu, yang ekonominya lemah lembut harus menerima kenyataan untuk tersingkir dari lembaga pendidikan dengan label "bermutu."
"Sementara sekolah itu semakin tersohor dan mendatangkan siswa-siswi baru, anak-anak nelayan, kuli pelabuhan, para pelacur, dan para pekerja kasar lainnya harus keluar dari sekolah itu. Biayanya menjadi lebih mahal empat kali lipat (hal.99)
Perbedaan strata sosial sangat mempengaruhi akses dan cara pandang terhadap pendidikan. Bagi orang kaya, pendidikan adalah jaminan masa depan. Anak-anak orang kaya berlomba-lomba mendapatkan pendidikan terbaik. Sekolah-sekolah favorit menjadi incaran. Selain pelajaran di sekolah, pelajaran tambahan melalui kursus atau les privat berbayar juga diburu.
Bagi orang Oetimu yang tergolong ekonomi kelas bawah, pendidikan bukanlah suatu yang penting bagi masa depan mereka. Masa depan, yang dikejar lewat pendidikan adalah suatu yang jauh. Yang dipikirkan adalah bagaimana harus hidup hari ini.
Karena itu walau sudah sekolah, anak-anak Oetimu tidak bebas menikmati waktu mereka untuk belajar. Waktu belajar bagi mereka hanyalah setengah hari di sekolah saja. Selebihnya mereka harus bekerja.
"Sebagai anak orang miskin, mereka tidak bisa tinggal di sekolah bahkan hanya untuk setengah hari. Sesudah jam sekolah berakhir, ada sangat banyak pekerjaan yang menanti mereka di rumah. Yang laki-laki merawat ternak peliharaan, mencari ikan atau mencari daun-daun untuk menjualnya ke karantina sapi di pelabuhan, sedangkan yang perempuan menjaga adiknya sementara orang tuanya bekerja, atau menjadi penjual aksesoris di pantai, tukang jemur ikan, atau mengerjakan pekarjaan kecil lain agar tidak bersegera menjadi pelacur (hal.99-100).
Bangsa Indonesia sudah merdeka 75 tahun. Namun tujuan kemerdekaan bangsa: mencerdaskan kehidupan bangsa belum juga tuntas dipenuhi. Pendidikan sebagai salah satu upaya dalam mencerdaskan rakyat Indonesia masih jauh panggang dari api.
Novel ini sesungguhnya menyingkap banyak tabir yang terselubung dalam kehidupan sosial kita. Namun tabir tersebut tidak saya buka semuanya di sini. Karena itu hal-hal yang tidak saya singgung di sini, silakan Anda membaca sendiri...hehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H