Perbedaan strata sosial sangat mempengaruhi akses dan cara pandang terhadap pendidikan. Bagi orang kaya, pendidikan adalah jaminan masa depan. Anak-anak orang kaya berlomba-lomba mendapatkan pendidikan terbaik. Sekolah-sekolah favorit menjadi incaran. Selain pelajaran di sekolah, pelajaran tambahan melalui kursus atau les privat berbayar juga diburu.
Bagi orang Oetimu yang tergolong ekonomi kelas bawah, pendidikan bukanlah suatu yang penting bagi masa depan mereka. Masa depan, yang dikejar lewat pendidikan adalah suatu yang jauh. Yang dipikirkan adalah bagaimana harus hidup hari ini.
Karena itu walau sudah sekolah, anak-anak Oetimu tidak bebas menikmati waktu mereka untuk belajar. Waktu belajar bagi mereka hanyalah setengah hari di sekolah saja. Selebihnya mereka harus bekerja.
"Sebagai anak orang miskin, mereka tidak bisa tinggal di sekolah bahkan hanya untuk setengah hari. Sesudah jam sekolah berakhir, ada sangat banyak pekerjaan yang menanti mereka di rumah. Yang laki-laki merawat ternak peliharaan, mencari ikan atau mencari daun-daun untuk menjualnya ke karantina sapi di pelabuhan, sedangkan yang perempuan menjaga adiknya sementara orang tuanya bekerja, atau menjadi penjual aksesoris di pantai, tukang jemur ikan, atau mengerjakan pekarjaan kecil lain agar tidak bersegera menjadi pelacur (hal.99-100).
Bangsa Indonesia sudah merdeka 75 tahun. Namun tujuan kemerdekaan bangsa: mencerdaskan kehidupan bangsa belum juga tuntas dipenuhi. Pendidikan sebagai salah satu upaya dalam mencerdaskan rakyat Indonesia masih jauh panggang dari api.
Novel ini sesungguhnya menyingkap banyak tabir yang terselubung dalam kehidupan sosial kita. Namun tabir tersebut tidak saya buka semuanya di sini. Karena itu hal-hal yang tidak saya singgung di sini, silakan Anda membaca sendiri...hehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H