Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merayakan Hari Buku di Tengah Corona

23 April 2020   22:06 Diperbarui: 23 April 2020   22:11 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku adalah jendela dunia. Di dalam buku terkandung banyak informasi. Juga tersimpan banyak pengetahuan. Yang semuanya hanya bisa disibak dengan membaca. Sebagaimana kata Seus, "The more you read, the more things you will know, the more that you learn, the more place you'll go." Semakin banyak kamu membaca, semakin banyak yang kamu ketahui, semakin banyak yang kamu pelajari, semakin banyak tempat yang kamu kunjungi. Singkatnya berteman dengan buku memperluas wawasan kita.

Disadari bahwa rasa cinta bangsa Indonesia terhadap buku mulai pudar. Halmana tergambar dari berbagai survey tentang budaya membaca masyarakat Indonesia. UNESCO misalnya, melaporkan bahwa dari 1000 orang Indonesia hanya satu yang memiliki kebiasaan membaca. Oh my God. Begitu rendahkah rasa cinta kita kepada buku? Sampai kita tidak meluangkan waktu untuk membacanya.

Benarkah budaya membaca kita sudah luntur? Dari pengalaman sebagai guru, saya menemukan bahwa budaya membaca di lingkungan sekolah memang memprihatinkan kalau tidak mau dikatakan buruk. Warga sekolah baik pendidik, tenaga kependidikan maupun siswa hampir tidak memiliki waktu untuk membaca. Tetapi kabar baiknya, bila disodorkan buku, mereka begitu antusias menerima dan membacanya. 

Pengalaman ini menghantar saya pada kesimpulan bahwa budaya membaca kita memang rendah; kekurangan, atau lebih tepatnya ketiadaan buku adalah penyebabnya. Karena itu buku adalah jawaban atas persoalan literasi membaca bangsa.

Ketika survey tentang budaya membaca melaporkan hasil serupa, kita seperti kebakaran jenggot. Tidak mungkin budaya membaca kita seburuk itu. Apa pun "protes" yang dilayangkan, itu tidak akan menyelesaikan soal. Untuk mengusir rasa malas membaca, kita mesti beraksi. Gerakan menyebarkan buku bacaan dan ajak banyak orang untuk membaca. Itu solusinya. Selain itu hanya retorika.

Aksi itu pelan-pelan sudah dimulai. Di sekolah gerakan literasi perlahan dihidupkan. Setiap pagi warga sekolah diwajibkan membaca lima belas menit sebelum aktivitas pembelajaran dimulai. Di masyarakat taman baca mulai didirikan. Bertebaran dari kota hingga pelosok. Solidaritas menggalang bahan bacaan untuk didonasikan ke taman bacaan digawangi oleh Pustaka Bergerak Indonesia. Buku-buku bacaan didistribusikan ke seluruh Nusantara.

Aksi ini didukung pemerintah yang menggratiskan pengiriman buku ke seluruh wilayah tanah air pada tanggal 17 setiap bulan melalui Kantor Pos Indonesia. Walau belakangan mekanisme pengirimannya sudah berubah, gerakan ini setidaknya menjawabi kekurangan buku bacaan yang dialami selama ini.

Di saat ini dunia sedang menghadapi serangan virus SAR-COV-2. Menghdapi pandemic covid-19, Indonesia menerapkan kebijakan social distancing: bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah dari rumah.

Saat menjalankan social distancing, buku menjadi teman setia saya. Saya memiliki lebih banyak waktu untuk membaca buku. Mendalami isinya. Menimba inspirasi dari para (penulis) buku. Bersama buku social distancing dapat saya jalani dengan baik. Benar pepatah Arab, "Sebaiknya-baiknya teman duduk paling setia adalah buku."

Tiga hari lalu saya memilih buku Menjadi Guru Hebat Zaman Now untuk menemani saya. Hari ini saya menuntaskan buku karya Robert Bala tersebut. Adalah kebetulan saya selesai membaca buku ini di hari buku international. Ketika memilih buku ini tiga hari yang lalu untuk dibaca, saya tidak memasang target harus membaca dalam tiga hari. 

Seperti kebiasaan saya tidak membuat janji dengan diri untuk membaca buku dalam kurun waktu tertentu. Ketika memilih sebuah buku untuk dibaca, saya memang berkomitment untuk harus membacanya hingga tuntas. Tetapi durasi waktu membaca buku tidak saya tentukan. Sebuah buku bisa saya baca dalam satu, kadang berhari-hari, dan kadang bisa berminggu-minggu.

Dalam buku Menjadi Guru Hebat Zaman Now Pak Robert menandaskan bahwa guru hebat zaman now adalah guru yang menulis. Dan untuk bisa menulis guru harus membaca. Artinya guru yang hebat menjadikan buku sebagai sahabat. Robert menulis, "Seorang guru mestinya memiliki target untuk membaca minimal menyelesaikan satu buku per bulan (hal.136).

23 April dirayakan sebagai Hari Buku International. Ini adalah moment merayakan cinta pada buku. Hari Buku International mengingatkan kita akan pentingnya buku dan menumbuhkan minat baca. Semoga selama menjalankan social distancing di masa pandemic covid-19 kita semakin akrab dengan buku.

SELAMAT HARI BUKU INTERNASIONAL.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun