Ya dia hanya meminta kita untuk mengumpulkan anak difabel yang tidak memiliki orang tua seperti dirinya untuk tinggal bersama di desa ini. Awalnya kita keberatan, karena mengurus banyak anak difabel tidaklah mudah.
Namun kita semua menyayangi Riza. Mulai hari itu, kami jadikanlah desa ini terbuka untuk semua anak difabel yang membutuhkan. Kamu bisa melihat kegiatan anak-anak itu digedung sebelah sana” si ibu menutup kalimatnya sambil menunjuk sebuah gedung yang indah.
PLAKKKK! Tidak ada yang menampar,tapi aku sangat tertampar. Ku tarik ucapanku saat mengatakan “entah tuhan yang jahat!” oh sungguh bukan, ternyata aku yang bodoh dan jahat pada diriku sendiri. Ku selesaikan sarapan, bersih-bersih, lalu menuju gedung yang ditunjuk ibu tadi.
Ku buka pintu gedung, ku lihat banyak anak difabel sedang belajar. Ya mereka BELAJAR!!. Mulai dari pelajaran biasa, sampai melatih kemampuan. Sesekali ku lihat seorang guru yang membantu mereka belajar. Segera ku cari Riza. Aku penasaran dengan cara berpikirnya. Riza lebih muda 3 tahun daripada aku, tapi cara berpikirnya sungguh luar biasa.
Seorang anak dengan kursi roda menarik tanganku. “kak Ratih?” “oh aku Riza! Senang kaka datang”. Aku tersenyum senang, segera ku minta izin padanya, apakah aku bisa mengobrol dengan dia. Dia pun mengiyakan dengan senang.
Di awali dengan basa basi, hingga aku menceritakan kehidupanku di Jakarta, untuk apa dan bagaimana aku bisa kesini. Riza tersenyum, lalu berkata “tidak hanya kaka yang hancur. Banyak orang yang lebih hancur di luar sana. Ketika seseorang salah , jangan salahkan pendidikannya. Tetapi salahkan orang itu sendiri. Saat ini kaka tidak memperdulikan pendidikan, tetapi selalu bertanya bagaimana keluar dari kehancuran.
Hmm kurasa itu sia-sia. Yang bisa membuat diri kaka bahagia,sedih, atau bahkan hancur hanya diri kaka sendiri. Bagiku kebahagiaan kuncinya hanya satu, yaitu Ilmu.
Dengan ilmu kaka bisa melakukan segalanya. Sekolah yang rajin ya ka! Biarpun lingkungan terlihat seperti musuh, tetapi ilmu tidak pernah memiliki musuh” Riza berhenti berbicara sambil menggenggam tanganku. Anak cantik itu berhasil membuat aku menangis.
Sudah lah aku tertampar dua kali karena perkataanya. Ku tatap mata Riza, terlihat puas karena merasa berhasil merubah pola pikirku. Ku peluk erat gadis itu sambil menangis. Riza menyemangatiku berkali-kali membuatku tidak merasa hancur lagi dan tidak merasa sendiri lagi.
Sehari berikutnya ku habiskan waktuku untuk banyak belajar dari Riza dan teman-teman difabel lain, juga dari ibu-ibu warga desa. Di hari keempat aku memutuskan untuk pulang. Ku sisakan satu hari untuk beristirahat dirumah. Sangat berat berpamitan dengan warga desa yang sangat baik, apalagi Riza!.
Namun aku harus terus berjalan untuk merubah hidupku ke depan. Setelah makan siang bersama, kami berpelukan. Aku berjanji pada mereka semua, bahwa suatu hari akan kembali mengunjungi. Ku tenteng tasku,sambil melambai, dengan tersenyum lebar, keluar dari desa,lalu naik bus.