Saya masih berumur belasan tahun ketika Ibu berlangganan majalah religi yang amat kondang di kala itu. Salah satu majalah, yang kini raib entah ke mana, memuat sebuah kisah nyata tentang perjuangan seorang ibu demi berhaji ke Tanah Suci. Itu adalah satu dari segelintir kisah masa kanak yang melekat di ingatan saya, yang kini saya bagikan kepada Anda.
Tokoh kisah tersebut bernama Mashitah, seorang wanita paruh baya yang bermukim di pedalaman tanah Sunda. Beliau telah menjanda sejak tahun-tahun pertama pernikahannya, tak menikah lagi dengan siapa pun, dan memilih untuk membesarkan anaknya semata wayang.
Ibu Mashitah mencari nafkah dengan menjadi penjual sayur keliling, satu-satunya profesi yang ditekuninya hingga akhir hayat. Para tetangga mengenang Ibu Mashitah sebagai pedagang yang jujur.
Pernah suatu ketika beliau lupa tak memberi uang kembalian kepada seorang pembeli. Uang kembalian itu besarnya tak seberapa sehingga sang pembeli, yang mengerti kondisi ekonomi Ibu Mashitah, merelakannya. Namun, beberapa hari kemudian Ibu Mashitah berkunjung ke rumahnya, meminta maaf dan mengembalikan uangnya, meskipun saat itu hari sudah malam.
"Beliau takut akan lupa lagi jika harus menunggu sampai pagi," terang sang pembeli yang tinggal sedesa dengan Ibu Mashitah. "Padahal cuma lima ratus rupiah."
Ibu Mashitah juga dikenal sebagai seseorang yang taat beribadah. Tak pernah beliau meninggalkan shalat berjamaah di surau, sekalipun beliau sedang sakit atau dihadang cuaca buruk. Bersama anaknya yang telah menginjak usia remaja, beliau rutin menghadiri pengajian yang biasa diadakan di pelbagai masjid di sekitarnya.
"Tiap kali pulang dari pengajian, tas Ibu selalu penuh dengan paku-paku berkarat dan duri-duri yang beliau temukan di jalan," kenang sang anak, yang pada saat diliput oleh majalah itu telah berumur tiga puluh delapan tahun. "Ibu khawatir pada pengendara yang bakal celaka akibat benda-benda tersebut."
Satu hal lain mengenai Ibu Mashitah yang diketahui siapa pun adalah keinginannya untuk beribadah haji. Tiap kali bertemu pembeli, atau bercengkerama dengan jamaah pengajian, atau ketika mengobrol berdua dengan anaknya, pembicaraan Ibu Mashitah tak pernah jauh-jauh dari ibadah haji; tentang nikmatnya berwukuf di Arafah, tentang bagaimana melempar jumrah dengan benar, dan di atas segalanya, tentang obsesinya melihat Kabah.
Cita-cita tersebut telah tertanam kuat sejak beliau masih muda. Segala ibadah yang beliau lakukan, menurut beliau, adalah persiapan yang mutlak dilakukan sebelum berangkat ke Makkah suatu hari nanti. Beliau yakin bahwa Allah akan menjawab doanya, mengabulkan satu-satunya hal yang beliau inginkan melebihi apa pun.
Namun, Ibu Mashitah mengerti kalau keyakinan dan doa saja tak pernah cukup untuk meraih cita-cita. Maka, dimulai sejak beliau menjanda, setiap hari beliau menyisihkan pendapatannya, menabung koin demi koin di dalam batang-batang bambu yang menjadi tiang penyangga rumahnya. Bambu-bambu itu dilubangi pada tiap ruasnya, dan di sanalah cita-cita Ibu Mashitah tersimpan.
Jika Anda menganggap apa yang beliau lakukan adalah sesuatu yang konyol, maka Anda tidak sendirian. Para tetangga pun berpikir demikian meskipun tak secara terang-terangan mencemooh Ibu Mashitah. Mereka percaya bahwa cara tersebut tak akan mengirim Ibu Mashitah ke Kabah, sebab besar peluang beliau jenuh menabung dan menanti di tengah upayanya, atau barangkali tabungannya tak akan pernah cukup hingga beliau wafat kelak.
Para tetangga itu tak tahu bahwa Ibu Mashitah adalah seorang pejuang. Membesarkan anak seorang diri di tengah kemiskinan saja beliau sanggup, apalagi sekadar menabung recehan dalam jangka waktu yang, bagi orang lain, tak terbayangkan lamanya. Tiga puluh lima tahun; itulah waktu yang dibutuhkannya untuk memenuhi semua batang bambu hingga tak tersisa ruang untuk satu pun koin.
Hari itu pun tiba. Dengan bantuan beberapa tetangga, satu demi satu tiang bambu itu diambil dan dibelah sebelum diganti dengan yang baru. Tak ada yang tahu berapa jumlah pasti segunung recehan tersebut, tetapi Ibu Mashitah percaya bahwa tabungannya sudah cukup untuk membawanya ke Tanah Suci.
Dibantu oleh anaknya, Ibu Mashitah membawa uang recehan tersebut ke bank untuk membayar biaya naik haji. Delapan tas plastik hitam besar dibutuhkan untuk membawa semua uang itu.
"Semuanya berjumlah dua puluh satu juta, dan semuanya recehan," kata anaknya. "Butuh berjam-jam bagi petugas bank untuk menghitungnya."
Ketabahan, ketekunan, dan komitmennya pada cita-cita berhasil mewujudkan impian Ibu Mashitah. Pada usianya yang keenam puluh dua, tiga tahun sebelum meninggal dunia, terkabul sudah keinginan beliau pergi ke Makkah.
Demikianlah kisah perjuangan seorang hamba dalam memenuhi panggilan-Nya. Keterbatasan finansial terbukti bukanlah alasan untuk mengabaikan rukun Islam kelima ini, asalkan kita memiliki satu hal terpenting yang akan memampukan kita meraihnya: iman.
Imanlah yang membuat kita memandang ibadah haji sebagai sesuatu yang mendesak untuk ditunaikan. Imanlah yang memberi kita semangat dan ketabahan dalam proses mewujudkannya. Iman pula yang menyibakkan jalan keluar atas permasalahan yang barangkali hadir untuk merintangi niat kita ke Tanah Suci. Tanpa kehadiran aspek fundamental ini, mustahil kita memenuhi kewajiban berhaji, sebanyak apa pun uang dan waktu yang kita miliki.
Adalah benar ibadah haji merupakan ibadah yang mahal. Puluhan juta rupiah mesti dipersiapkan untuk memberangkatkan kita ke Makkah, belum lagi menimbang kesiapan fisik dan psikis untuk menjalani serangkaian ritual ketika berada di sana. Namun, seperti yang dicontohkan oleh Ibu Mashitah, kita bisa mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan sedari dini.
Persoalan finansial bisa disiasati dengan cara menabung sejak jauh-jauh hari. Memang benar bahwa tidak semua orang memiliki konsistensi seteguh karang seperti yang dimiliki oleh Ibu Mashitah, yang bisa ajek menabung koin demi koin selama tiga puluh lima tahun. Meskipun begitu, kemajuan pelayanan perbankan telah memfasilitasi hal tersebut.
Kita tak perlu melubangi tiang rumah untuk dijadikan celengan. Hampir semua bank di Indonesia memiliki layanan tabungan naik haji dengan beragam kemudahan yang ditawarkan. Bank Danamon, misalnya, mempunyai program Tabungan Haji yang memberi kepastian mendapat nomor porsi haji begitu nasabah membuka rekening. Sembari menunggu antrean, yang kita tahu butuh bertahun-tahun, kita bisa mempersiapkan sisa biaya yang dibutuhkan.
Apa pun metode menabung yang kita pilih, dan kemudahan apa saja yang ditawarkan oleh bank, satu hal yang patut kita catat adalah bahwa kita sebaiknya mempersiapkan diri sejak usia muda nan produktif.
Jika kita memulainya di umur paruh baya, sementara proses mengumpulkan dana membutuhkan waktu belasan tahun, besar kemungkinan kita baru akan berangkat ke Tanah Suci di usia sepuh, ketika aspek fisik tak lagi memadai untuk menjalani ritual-ritual haji yang menguras tenaga. Allah akan menolong hamba-Nya, itu pasti. Namun, fisik yang terganggu tentu akan mengurangi kenikmatan dan kekhusyukan beribadah, padahal, boleh jadi, itu merupakan satu-satunya kesempatan kita beribadah haji.
Oleh sebab itu, mari kita perbaiki diri. Kokohkan iman, tatalah niat. Bangunlah komitmen kepada diri sendiri untuk segera memenuhi undangan-Nya, dan konsitenlah dengan apa-apa yang telah kita rencanakan. Sebab kita tak pernah tahu sampai di mana batas umur diri. Sebab yang sungguh-sungguh kita miliki hanya hari ini.
Kita, yakinilah, sudah saatnya berhaji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H