Segera saja predator menjadi pesakitan. Satwa yang bertaring diuber di seluruh negeri, sebelum akhirnya digebuk dan dicincang akibat kesalahan yang tak sepenuhnya mereka pahami. Padahal, anjing di seluruh Nouwer tak lagi bergigi, begitu pun dengan predator yang lain.
Nasib yang berkebalikan diterima satwa herbivora. Ayam kini memiliki empat patung monumen dirinya, sementara kambing dan ulat bulu dijadikan nama jalan. Penduduk di pesisir mulai menyembah ikan gabus, sedangkan potret torso munyuk bersanding dengan foto perdana menteri di segala dinding.
Saya tak bisa berbuat apa pun; kemudaan saya sudah merupakan satu kesalahan, dan hanya butuh satu kesalahan lain sebagai alasan mereka melempar saya ke penjara. Lagipula, tindak-tanduk saya sedang dalam intaian aparat akibat keakraban saya dengan satwa yang mereka buru.
Maka, saya hanya diam, menyaksikan satu demi satu predator di bonbin, teman-teman terbaik saya di sini, diangkuti dengan truk-truk tua tentara. Mereka akan diperlakukan seperti anjing jalanan, dan akan berakhir di muara yang sama, dengan kengerian yang sama.
Beruntung, Kedubes Indonesia menyelamatkan saya dari nasib buruk. Itu terjadi di hari keenam, ketika pengenyahan satwa predator sedang genting-gentingnya. Dari jendela mobil tampaklah bangkai anjing dan kucing dan yang lain, bertumpukan begitu tinggi seperti menyundul langit. Jompo-jompo itu berlarian dan memekik sambil membawa pentung dan pedang dan obor.
Tragedi itu menjelma trauma bagi saya di tahun-tahun selanjutnya, dan barangkali hingga saya tua nanti. Saya bersyukur tiba di Indonesia dengan utuh, dan saya semakin bersyukur mendapati kenyataan bahwa negeri ini tak pernah melakukan genosida pada makhluk apa pun sepanjang sejarahnya. Tak ada penderita cacat logika seperti penduduk Nouwer, dan itu menambah rasa bangga saya pada Indonesia.
Sebagai penutup, bolehkah saya bernyanyi Indonesia Raya?