Sekitar pertengahan 2015 saya pindah ke kota pelajar (sebut saja jogja, bukan nama sebenarnya), di sinilah letak titik balik hijrah saya dari seorang aktivis demo dan fotografer amatir paruh waktu menjadi penggiat kartun 2D bermartabat, halahh.. selama kurang lebih kira-kira 3 tahun banyak waktu yang saya habiskan untuk mengunjungi satu event jejepangan ke event lainnya, satu gathering ke gathering lainnya (tentu saja kuliah juga menjadi salah satu kegiatan saya hehe). Dari sekian tahun tersebut saya mengalami banyak culture shock, lha wong dulu saya fasih teriak-teriak demo lalu di jogja malah harus susah payah merapalkan mantra chant ketika ada idol lokal yang tampil joged (?) di atas panggung, dan sekian hal lainnya yang mungkin bisa jadi sekian seri tulisan terpisah.
Namun dari sekian hal itu yang menarik adalah sebutan-sebutan yang berkembang di kalangan komunitas jejepangan, istilah tersebut di antaranya adalah otaku, wibu, cosplayer, kameko dan lain sebagainya. Sampai pada suatu titik di antara postingan sosmed yang berseliweran di beranda (dari teman-teman sehobi tentu saja!) terdapat istilah baru yaitu normies. Kata atau istilah baru ini sering (kalau bisa dibilang) diumpatkan begitu terdapat pembahasan "kelas berat" tentang suatu hal berbau jepang lalu ada komentar masuk yang mempertanyakan maksud dari pembahasan tersebut, contoh : normies mending diam aja! atau bisa juga dipakai ketika menanggapi pemberitaan media yang miskin literasi (hehe) tentang hobi mereka, contoh : normies mana paham...
Setelah melalui proses pengamatan lumayan panjang di sosmed, akhirnya bisa ditarik kesimpulan bahwa ternyata normies merupakan serapan slang dari normal yang merujuk kepada individu yang berada di jalur mainstream, individu yang lebih memilih menonton cinta fitri dibanding kuzu no honkai (eh), atau yang tidak bisa membedakan mana member love live mana member sailor moon. Singkat kata istilah normies disematkan sebagai lawan langsung dari hipster yang entah bagaimana diasosiasikan dengan wibu. Wibu sendiri apabila kita telusuri di internet diasosiasikan dengan individu di luar jepang yang mencintai segala produk populernya secara berlebihan, dalam bahasa inggris ditulis Weaboo.Â
Lalu muncul sebuah pertanyaan (sepertinya sih di otakku saja), kira-kira pilihan kata mana yang tidak lebih menyakitkan / menghina di antara normies atau non-wibu? Seandainya pilihan kata non-wibu yang dipakai kok rasa-rasanya tidak familiar, bahkan mungkin akan menimbulkan sangkalan "apakah semua orang harus jadi wibu sehingga yang bukan wibu disebut non-wibu? Hemmm", lalu apabila disebut normies mungkin juga menjadi sebuah perdebatan "bukankah normies artinya normal? Berarti kita yang lawan katanya normies berarti sekumpulan orang tidak normal dong?" lhah bener juga... tapi diujung kita perlu berfikir lebih dalam, apakah kira-kira para penggemar cinta fitri, pengagum senja dan band indie itu perduli dengan label yang akan kita sematkan ke mereka? Nah lho makin mumet haha.
Jadi sebagai penutup, kira-kira kapan sequel yuru camp rilis? hehehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H