Mudik lebaran (hari raya Idul Fitri) merupakan salah satu momentum yang paling ditunggu bagi para perantau diseantero Indonesia, segala daya upaya dikerahkan oleh para perantau agar mereka dapat mudik dan berkumpul bersama dengan para keluarga besar mereka di kampung halaman. Kembali ke kampung halaman merupakan sarana para pemudik untuk menunjukkan sisi "manusia yang seutuhnya" pada diri mereka setelah selama diperantauan mereka menjadi hamba-hamba pekerja (homo economicus). Maka tidaklah heran ketika mereka pulang kekampung halaman mereka seolah-olah menjadi manusia baru yang lepas dari berbagai kebiasaan mereka diperantauan, mereka menjadi manusia yang konsumtif, manusia yang lebih religius, manusia yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, dan satu lagi mereka menjadi manusia yang kembali ke akar budaya dan adat mereka. Selayaknya yang dinyatakan oleh Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentational of Self in Everyday Life” memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan teateris.Menurut interaksi simbolik, manusia belajar memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini, terlibat dalam kegiatan menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka. Dalam konteks demikian, mereka menandai satu sama lain dan situasi-situasi yang mereka masuki, dan perilaku-perilaku berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi situasi. Presentasi-diri seperti yang ditunjukan Goffman, bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor, dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas penggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi.
Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.
Bagi Goffman, tampaknya hampir tidak ada isyarat nonverbal yang kosong dari makna. Isyarat yang tampak sepelepun, seperti “berpaling ke arah lain,” atau “menjaga jarak” dengan orang asing yang dimaksudkan untuk menjaga privasi orang adalah ritual antarpribadi atau dalam istilah Goffman menghargai diri yang “keramat” (“sacred” self), bukan sekedar adat kebiasaan. Tindakan-tindakan tersebut menandakan keterlibatan sang aktor dan hubungan yang terbina dengan orang lain, juga menunjukan bahwa sang aktor layak atau berharga sebagai manusia. Maka penghargaan atas diri yang keramat ini dibalas dengan tindakan serupa, sehingga berlangsunglah upacara kecil tersebut.
Kehidupan manusia tampaknya akan berjalan “normal” bila kita mengikuti ritual-ritual kecil dalam interaksi ini, meskipun kita tidak selamanya menjalankannya. Etiket adalah yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan anggota-anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur diri-sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam rangka kerjasama untuk mengkonstruksikan diri yang diterima secara sosial, salah satunya adalah lewat ritual, Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri yang kita proyeksikan dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari kontrol sosial yang saling mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah adalah suatu citra-diri yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang layak adalah bagian dari tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan mengenai kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir.
Maka kita dapatlah menyimpulkan bagaimana individu- individu (mudikers) tersebut selama satu tahun penuh menyiapkan berbagai peran yang akan mereka jalankan dikampung halaman, kota- kota perantauan merupakan backstage (panggung belakang) yang seringkali menghadirkan realitas yang lebih buram, dimana tata nilai, norma kehidupan jauh dari kata normal. Namun begitu mereka menampilkan wajah- wajah yang bahagia, penuh keceriaan, beradab, dalam satu momen yang disebut mudik lebaran (front stage). Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H, semoga kita semua menjadi manusia seutuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H