Mohon tunggu...
Kukuh C Adi Putra
Kukuh C Adi Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi Pendidikan | @kukuhcadiputra

GTK Inovatif Kategori Guru SMK Tahun 2023 - BBGP Jawa Tengah | Penulis #tenunankata | Pengisi Konten Selepas Subuh✨ on Youtube : @kukuhcadiputra | Certified Trainer and Asessor @bnsp_official

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Selepas Subuh: Kursi (Kedudukan) Guru yang Hilang

15 Agustus 2024   11:38 Diperbarui: 15 Agustus 2024   11:46 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Kursi dan Meja Guru (Image by  from Pixabay/玺滨)

Kurikulum Merdeka, sebuah inisiatif besar dalam dunia pendidikan Indonesia, menempatkan guru pada posisi yang sangat strategis. Tidak lagi sekadar pengajar, guru dalam kurikulum ini berperan sebagai arsitek pembelajaran yang inovatif dan berfokus pada pengembangan karakter, kreativitas, dan kemandirian siswa. Peran Guru dalam Kurikulum Merdeka:

  • Fasilitator Utama: Guru menjadi fasilitator utama dalam proses pembelajaran. Mereka menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, merangsang pemikiran kritis, dan mendorong siswa untuk aktif mencari tahu.
  • Pemandu Pembelajaran: Guru berperan sebagai pemandu yang membimbing siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Mereka membantu siswa untuk menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan mengembangkan keterampilan abad ke-21.
  • Penilai Kompetensi: Guru tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga memantau perkembangan kompetensi siswa secara berkelanjutan. Penilaian dilakukan dengan berbagai cara, baik secara formatif maupun sumatif.
  • Inovator Pembelajaran: Guru diharapkan terus mengembangkan diri dan mengadopsi berbagai inovasi dalam pembelajaran. Mereka dapat memanfaatkan teknologi, metode pembelajaran yang beragam, dan sumber belajar yang bervariasi.
  • Pengembang Karakter: Selain menguasai materi pelajaran, guru juga berperan penting dalam mengembangkan karakter siswa. Nilai-nilai seperti integritas, gotong royong, dan rasa tanggung jawab perlu ditanamkan sejak dini.

Dalam Kurikulum Merdeka, guru memiliki peran yang sangat sentral. Mereka adalah arsitek pembelajaran yang merancang pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa. Maaf, paragraf di atas adalah jawaban idealnya jika muncul pertanyaan, "Di mana peran seorang Guru di dalam Kurikulum Merdeka?" .

Kedudukan atau marwah Guru secara definitif dan aplikatif seringkali berseberangan. Bisa jadi marwah tersebut perlahan terkikis karena memang perilaku Guru itu sendiri atau murid yang tanda kutip belum paham bagaimana caranya memuliakan Guru. 

Baru-baru ini ada salah seorang Guru pemilik akun Facebook Andi Nurhikmah dalam reels-nya membagikan konten video refleksi pendidikan yang menjelaskan suatu fenomena "Adab Kursi Guru". Video berdurasi 32 detik tersebut telah disukai oleh 5,6 ribu penonton, disebarkan oleh 2,4 ribu penonton, dan dikomentari hingga 612 orang. 

Apa yang menarik ? Sudut pandang konten kreator yang menjadikan Kursi Guru sebagai aktor utamanya. Berikut narasi videonya,

***

Dulu, tempat ini begitu sakral bagi kami (Guru)

Tempat ini sangat kami hargai

Karena tempat ini adalah singgasana Guru kami

Tapi, itu DULU

(Berpindah ke tayangan murid yang duduk di kursi Guru)

Sekarang nasibmu wahai kursi Guru

Sakral  tinggal kenangan

Salah satu adab kepada Guru adalah

Dengan menghormati "Tempat Duduknya"

***

Menariknya lagi pada kolom komentar beberapa Guru menambahkan kisah yang memperdalam karakter sebuah Kursi Guru. Salah seorang Guru bercerita, pernah kursinya hilang digeser ke belakang kelas dan tidak dikembalikan lagi. 

Ada juga yang kursinya diganti dengan kursi yang biasa dipakai murid, meja Guru selaku dibiarkan kotor dan basah akibat minuman ketika masuk kelas, dsb. 

Supaya terkesan tidak abai kepada fenomena ini dan begitu pentingnya berimbang dalam menentukan sikap, berikut respon warga +62 di kolom komentar yang kupilah dari A sampai Z terhadap kondisi tersebut, semoga menjadi refleksi kita bersama. 

Akun A : 

Tripusat pendidikan anak yang pertama adalah keluarga. Sekolah bukan tempat mereka diajarkan adab dari nol. Mengajarkan anak mengenai adab sejak dari rumah adalah bentuk kita menghargai kodrat anak.

Akun B : 

Ini bukan masalah superioritas atau arogansi atau pikiran yang konservatif, tapi mutlak masalah adab. Para Guru jangan segan untuk meminta mereka agar tidak duduk di kursi itu, sampaikan baik-baik alasannya.

Akun C : 

Seharusnya jadi refleksi kita, menciptakan iklim sekolah yang menanamkan adab dan menjadi Guru yang berkarisma.

Akun D : 

Mari kita mulai lagi dari Orang Tua, disiplinkan anak-anak kita untuk hormat kepada Guru.

Akun E : 

Kita harus sering-sering mengingatkan, kadang anak-anak tidak paham yang mereka lakukan itu tidak beretika. Jangan lelah mengingatkan mereka dengan kasih sayang.

Akun F : 

Guru yang baik itu Guru yang selalu dinanti kedatangannya.

Akun G : 

Faktor utama adalah medsos, saya adalah mantan Guru, dulu dikenal tegas dan agak ditakuti murid. Sekarang bagaimana Guru ingin dihormati kalau di akun medsos mereka dengan entengnya joged-joged yang secara tidak langsung menjatuhkan marwahnya. Dulu Orang Tua dan murid tidak pernah tahu aib dan jeleknya seorang Guru, sekarang cenderung mudah dan terumbar bebas. Jadi saran saya Guru juga wajib menjaga adab dalam bersosmed, karena anak-anak kita tentu akan mencontoh apa yang kita lakukan.

Akun H : 

Dikit-dikit HAM, murid terlalu diberi pembelaan, beberapa Orang Tua tidak menghargai Guru dan itu ditiru anak-anaknya. 

Akun I : 

Saya pernah di situasi demikian. Ketika saya tanya ke anak-anak, mereka tidak ada inisiatif untuk mencarikan kursinya. Lantas saya merenung, dosa apa yang saya perbuat dulu kepada Guru-Guru saya sampai seperti ini kejadiannya.

Akun J : 

Bukan hanya duduk-duduk saja, bahkan ada bekas sepatu dan itu tidak dibersihkan sebelumnya.

Akun K : 

Karena kalau dulu Guru menempatkan harga dirinya di atas murid tapi penuh adab, sopan santun dan mendidik dengan tegas penuh wibawa. Sekarang, Guru menganggap muridnya sebagai teman dan partner kerja, lalu jika muridnya tidak menghormati Guru siapa yang tepat disalahkan ? Di pegunungan masih bertahan anak-anak begitu menghormati Guru-gurunya.

Akun L : 

Apakah masih ada pelajaran PMP di sekolah ? Yang membuat hancur murid ya kurikulum  yang sedikit-sedikit diganti. Teknologi makin canggih dan kurangnya kepedulian Orang Tua menasehati anaknya karena sibuk dengan gadget. Lalu ditambah ketatnya hukum yang tidak membolehkan murid dihukum, pendidikan moral bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.

Akun M : 

Anak kelahiran 80an pasti kalau berjumpa Guru selalu nunduk dan menyapa. Kursi Guru selalu takut diduduki. Tapi sekarang anak ketemu Guru sampai senggolan pun kadang kayak tidak kenal. Memang etika dan adab itu sudah tergerus oleh kemajuan zaman.

Akun N : 

Tidak semua murid lupa jasa Gurunya. Murid yang paling bandel setelah lulus ia malah yang paling hormat.

Akun O : 

Semoga Orang Tua sadar, belajar tidak hanya di sekolah, dan semoga bisa saling bekerja sama dengan Guru dalam mendidik putra-putrinya.

Akun P : 

Tugas saya dulu waktu menjadi murid adalah menjaga agar taplak meja guru terlihat rapi dan kalau belum ada bunga segar di atasnya rasanya belum lengkap. Terima kasih wahai Guruku jasamu tak akan terbalaskan, semoga menjadi amal jariyah bagimu.

Akun Q : 

Dulu pernah ditegur Guru jangan duduk di kursi Beliau nanti tidak berkah ilmunya. Alhamdulillah sekarang ilmunya berkah dan bisa meneruskan perjuangan beliau. Sampai saat ini nasihat itu saya teruskan ke murid-murid.

Akun R : 

Ya Allah betapa mirisnya, memang seperti itu sekarang. Tak jarang murid saya malah duduk di atas meja Guru.

Akun S : 

Tidak masalah kalu cuma didudukin, semoga suatu saat siswa yang duduk di sana merasakan sendiri menjadi Guru. Tetap semangat para Guru.

Akun T : 

Mungkin sekarang ini ada beberapa oknum Guru punya kesibukan lain di dalam kelas, konten kreator mungkin. Jadi murid menirunya.

Akun U : 

Alhamdulillah di tempatku mengajar tidak ada yang seperti itu. Selalu cium tangan, salim ketika jumpa.

Akun V : 

Duduk saja tidak masalah, yang penting masih duduk di kursi. Mereka anak didikku, selalu membuatku tersenyum dengan canda tawanya. Mereka paham kok kalau saya datang harus bagaimana, salam, salim dan duduk di tempat mereka sendiri.

Akun W : 

Dulu kami menghormati Guru, sekarang yang dikejar Guru adalah sertifikasi dan study tour, hehe.

Akun X : 

Dengan tidak mengurangi rasa hormat dan bangganya saya terhadap enkau, wahai Guru di seluruh dunia tanpa terkecuali, jika sekarang engkau merasa tidak dihargai izinkan saya bertanya, pernahkah engkau berkaca bagaimana engkau memperlakukan murid? Apakah engkau sudah memperlakukan murid dengan semestinya Guru ? Jika engkau merasa bahwa Guru berhak bersikap seenaknya maka bisa dipastikan murid akan melakukan hal yang sama.

Akun Y : 

Tempat duduk beliau saja sangat kita hormati apalagi orangnya. Di sinilah kurangnya pendidikan yang lebih condong ke ilmu ketimbang adab.

Akun Z : 

Sedih rasa jadi Guru di zaman ini. Sekolah sudah gratis, dapat seragam dan peralatan sekolah tapi minat peserta didik untuk belajar bisa dikatakan tidak ada, Orang Tua pun rasanya sudah tak perhatian lagi dengan proses belajar putra putrinya. Bila diberi laporan perilaku anak di sekolah, cuek, diminta datang ke sekolah tidak merespon sama sekali. Begitu ada kejadian yang merugikan anak dengan mudahnya menyalahkan dan melaporkan guru ke Instansi terkait. Kalau orang tua model kayak gini, hampir bisa dipastikan anaknya, maaf, tak punya adab kepada Guru. 

Begitulah kiranya ulasan yang kunukil dari ratusan komentar. Sudut pandang yang berbeda-beda tentu makin menguatkan juga saling lempar tugas, siapa pastinya yang bertanggung jawab. 

Perilaku anak-anak yang sering menggeser atau menduduki kursi guru di dalam kelas tentu menjadi fenomena yang menarik. Di balik tindakan sederhana ini, tersimpan berbagai kemungkinan makna dan implikasi yang perlu kita cermati.

Mengapa Hal Ini Terjadi?

Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab perilaku ini antara lain:

  • Eksplorasi dan Rasa Ingin Tahu: Anak-anak pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Menggeser kursi guru bisa menjadi cara mereka untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar dan mencari tahu apa yang akan terjadi.
  • Menantang Batasan: Anak-anak seringkali ingin menguji batas-batas yang telah ditetapkan. Dengan menggeser kursi guru, mereka mungkin mencoba untuk melihat sejauh mana mereka bisa "melanggar" aturan yang ada.
  • Mencari Perhatian: Terkadang, anak-anak melakukan tindakan yang tidak biasa untuk mendapatkan perhatian dari teman-teman atau guru. Menggeser kursi guru bisa menjadi cara mereka untuk menarik perhatian dan menjadi pusat perhatian.
  • Mimikri Perilaku Dewasa: Anak-anak seringkali meniru perilaku orang dewasa di sekitar mereka. Jika mereka melihat guru atau orang lain sering menggeser kursi, mereka mungkin menirukan tindakan tersebut.
  • Ekspresi Ketidaknyamanan: Dalam beberapa kasus, menggeser kursi bisa menjadi cara anak-anak untuk mengekspresikan ketidaknyamanan atau kebosanan di dalam kelas.

Dampak dan Implikasi

Perilaku ini, meskipun terlihat sederhana, dapat memiliki dampak yang cukup signifikan, baik bagi anak itu sendiri maupun bagi lingkungan belajar. Beberapa dampak yang mungkin terjadi antara lain:

  • Gangguan Proses Belajar Mengajar: Tindakan menggeser kursi dapat mengganggu konsentrasi siswa lain dan mengganggu jalannya proses belajar mengajar.
  • Menciptakan Ketidaknyamanan: Perilaku ini dapat membuat guru merasa tidak nyaman dan kurang dihargai.
  • Menunjukkan Kurangnya Disiplin: Menggeser kursi tanpa izin dapat dianggap sebagai tindakan indisipliner.
  • Mengurangi Rasa Hormat: Tindakan ini dapat mengindikasikan kurangnya rasa hormat terhadap guru dan lingkungan belajar.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:

  • Komunikasi yang Efektif: Guru perlu berkomunikasi dengan siswa secara terbuka dan jujur tentang mengapa perilaku tersebut tidak diizinkan dan apa dampaknya.
  • Membangun Hubungan Positif: Membangun hubungan yang positif dengan siswa akan membuat mereka lebih terbuka untuk menerima aturan dan arahan dari guru.
  • Memberikan Aktivitas yang Menarik: Dengan memberikan aktivitas yang menarik dan menantang, siswa akan lebih fokus pada pembelajaran dan mengurangi keinginan untuk melakukan tindakan yang mengganggu.
  • Memberikan Konsekuensi yang Jelas: Jika perilaku tersebut terus berlanjut, guru perlu memberikan konsekuensi yang jelas dan konsisten.
  • Melibatkan Orang Tua: Orang tua perlu dilibatkan dalam upaya untuk mengatasi masalah ini. Guru dapat bekerja sama dengan orang tua untuk memberikan konsistensi dalam mendisiplinkan anak di rumah dan di sekolah.

Kesimpulan

Perilaku anak-anak yang sering menggeser kursi guru merupakan fenomena yang kompleks. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang penyebabnya dan pendekatan yang tepat. 

Dengan komunikasi yang efektif, hubungan yang positif, dan konsistensi dalam penerapan aturan (Kontrak Kelas), diharapkan perilaku ini dapat diatasi dan lingkungan belajar yang kondusif dapat tercipta.

Penting untuk diingat bahwa setiap anak adalah unik dan memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan yang tepat untuk setiap anak mungkin akan berbeda-beda. Tetap semangat Bapak/Ibu Guru ! Jangan lelah dan berputus asa. (Kkh)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun