Aku memiliki teman yang akrab sedari SMA, ia kuanggap sebagai kakak pergaulan dan kepadaku ia memberi banyak bimbingan. Tak semua bimbingan aku laksanakan bukan karena bimbingan itu keliru, melainkan lebih karena keras kepalaku saja. Salah satu yang kudapat darinya adalah menggembirai kesusahan hidup.Â
Sudut pandanganya sangat luas, titik susahnya jauh melewati getir nadir hidupku. Sebelum mengenalnya aku merasa seperti pribadi paling apes sedunia, ternyata bukan. Ada yang lebih malang nasibnya dariku.
Jadi ketika seluruh orang bergembira, ia memilih berlalu menjauhi keramaian. Ketika aku sedang kesulitan, ia malah mendekat. Melihat aku menderita seperti ini, sang kakak pergaulan itu segera melirikku, memintaku untuk menenangkan diri dan mau berpikir sebaliknya dan mengambil sisi positifnya.Â
Ia memintaku menertawai setiap kesedihan, pun ketika putus cinta. Jadi jangankan menggembirainya, aku menjadi super sensitif ketika melihat remaja putra-putri jalan berpasangan di jalan, setiap malam minggu. Ketika sedih pun, tontonan humor selucu apapun seakan menguap garing.
Kenapa dulu aku susah membenamkan perasaan sedih dan seakan ketika sedih aku sukar sekali bahagia ? Karena aku menerapkan standar yang begitu tinggi untuk sekedar bahagia. Perasaan sebagai seorang ahli inilah yang kemudian menanamkan banyak prasangka di benakku.Â
Ada berbagai kriteria yang telah kutetapkan, aneka standar telah kupatok nilainya. Aku menjadi angkuh dengan standarku yang kukira paling benar, paling mutu dan paling artistik.
Apa saja yang menurutku di bawah ukuranku akan kupandang dengan sinis dan merendahkan. Tapi inilah hasilnya: aku sulit sekali tertawa dan sulit sekali untuk bahagia.Â
Musuh seperti berada di mana-mana, karena hampir semua orang kuanggap musuh. Hampir setiap waktu sekujur badanku dalam mode cemas, standar ketenanganku terlalu tinggi. Semua terlihat ingin menyerang, dan aku dalam posisi bertahan.
Ternyata kesiagaan itu perlahan membuat lelah. Aku menyadari sudut pandangku terlalu kejam menekan diri sendiri. Jika meleset sedikit tak jarang emosiku meningkat. Kini aku sungguh ingin melihat manusia dari sudut standarnya sendiri.Â
Ungkapan "melihat manusia dari sudut standarnya sendiri" mengacu pada kecenderungan alami manusia untuk menilai dunia dan orang lain berdasarkan pengalaman pribadi, nilai-nilai, dan keyakinan yang telah mereka bentuk selama hidup.Â