Albert Mehrabian, seorang pakar komunikasi mencatat, rata-rata manusia yang paling banyak omong hanya mengekspresikan perasaaannya sekitar 7% dengan wujud kata-kata, 38% dalam suara (entah itu intonasi nada, desis, desah, dan seterusnya). Sisanya bagaimana ? Mayoritas dikatakan lewat bahasa tubuh, 55% angkanya.Â
Tinggi bukan ? Meskipun begitu, prosentase di atas mungkin tidak sepenuhnya akurat. Intinya penelitian tentang komunikasi verbal dan non-verbal menunjukkan bahwa bahasa tubuh memainkan peran penting dalam komunikasi. Dalam hal ini bagiku penting sekali membaca perilaku Istri ketika sakit.
Ketika awal perjalanan menjadi keluarga muda, membaca perilaku istriku yang sakit selalu saja keliru. Istriku tidak sepenuhnya pendiam, lebih "nrithik" sesuai standar keaktifan Ibu rumah tangga. Masalahnya ketika ia sakit, perilaku tersebut berubah drastis. Ia menggunakan prosentase 38 % di atas dengan baik.Â
Malah terkadang, hanya dengan gerak tubuh aku wajib menebak letak sakitnya. Meski sekedar kecapekan ataupun masuk angin, jika dibiarkan begitu saja, ekskalasi deritanya runtut meningkat : dari mual, pusing, dan pegal seluruh badan. Tanda dan gestur itu kemudian telah begitu lengkapnya sehingga ia tak perlu lagi kubaca. Aku sudah butuh panik untuk menghadapinya.
Awalnya kepanikan itu kuterjemahkan dengan skenario yang kuproduksi secara singkat. Urut-urutannya antara lain seperti ini : Istriku kecapekan -- mulai mual -- pusing -- pegal seluruh badan. Penanganan sederhana : Teh manis hangat dan kerokan.Â
Namun di beberapa kasus skenario di atas tak kunjung lulus, ada juga momen ke klinik, beli obat di apotek, dan pernah sekedar memberi pijatan kondisi Istri pun membaik. Jika semuanya sudah teratasi, masih ada lagi beban perasaan, yakni, memandangi istri yang harus menahan kesakitan, tentu butuh ketabahan.
Saat itu, kubayangkan skenario dadakan harian selama Istri sakit. Setelah ini bab pekerjaan rumah tangga jangan sampai terhambat, besok aku harus mencuci baju lalu menjemurnya, menyetrika baju kerja dua hari ke depan, memasak nasi dan membeli lauk, serta mengambil seluruh urusan yang selama ini dikerjakan istriku.Â
Jika belum terbiasa, ritme panik akan mengamplitudo tergantung situasi. Belum nanti jika aneka tagihan rumah tangga itu datang, misal iuran RT, beli air galon, isi token listrik, dan semacamnya. Belum lagi kalau urusannya meruncing, misalnya harus mencari STNK, surat ini, formulir itu, kunci motor, jas hujan, dompet, sepatu, dan kaos kaki yang selama ini seluruhnya mutlak dalam kekuasaan istriku.
Ketika peristiwa itu, rumah serasa gelap, karena gelapnya pikiranku karena saking banyaknya skenario di kepala. Padahal istri belum minum obat apapun. Ia masih di rumah, dan sakitnya itu makin malam makin mereda, dan benar-benar reda di pagi harinya. Seluruh kepanikan dan kegentaranku itu, syukurlah berhenti sebagai bayangan belaka.Â
Tetapi bayangan itulah yang memaksaku melihat istri dengan cara berbeda. Selama ini kesehatannya, kebaikannya, pekerjaannya, yang sering kuanggap biasa-biasa saja karena pikirku, begitulah memang seharusnya. Kini, tampak, bahwa semua itu bukan hal biasa. Ia adalah soal-soal luar biasa dan terkadang aku terlambat menyadarinya. Â Wallahu A'alam Bishawab. (Kkh)