Mohon tunggu...
Kukuh C Adi Putra
Kukuh C Adi Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi Pendidikan

Alumni TK Budi Lestari Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Disonansi Kognitif: Perspektif Ambisi dan Kecemasan

2 Juli 2024   12:14 Diperbarui: 2 Juli 2024   12:24 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingin hidup sehat tetapi jarang berolahraga atau mengonsumsi makanan sehat, hingga akhirnya merasa bersalah di kemudian hari. Ingin menabung tetapi malah membelanjakan uang berlebihan, akhirnya menyesali keputusan tersebut saat memerlukan dana tambahan. Begitilulah contoh sederhana disonasi kognitif. 

Leon Festinger dalam jurnal "A Theory of Cognitive Dissonance" (1957) mengemukakan teori disonansi kognitif sebagai penjelasan atas ketidaknyamanan yang dirasakan individu ketika terdapat ketidaksesuaian antara keyakinan, sikap, perasaan tidak nyaman dan gelisah pun hadir, bagaikan disonansi pada sebuah melodi.

Penyebab badai ini bermacam-macam. Informasi baru yang bertentangan dengan keyakinan, perubahan perilaku yang tak sejalan dengan nilai, hingga tekanan sosial untuk bertindak bertentangan dengan prinsip, semua dapat memicunya. Cara Mengatasi Disonansi Kognitif:

  • Mengubah keyakinan: Individu dapat mencari informasi baru yang mendukung keyakinannya yang baru.
  • Mengubah perilaku: Individu dapat mengubah perilakunya agar sesuai dengan keyakinannya.
  • Merasionalisasi: Individu dapat mencari alasan untuk membenarkan perilakunya yang tidak sesuai dengan keyakinannya.
  • Meninggalkan keyakinan: Individu dapat mengabaikan keyakinannya yang menyebabkan disonansi kognitif.

Meskipun umum dan normal, disonansi kognitif yang parah dapat mengganggu ketenangan mental dan meningkatnya rasa cemas. Semakin ke sini indikator kecemasan meluas. Setiap manusia memiliki jawaban dan tindakannya masing-masing. Bisa dengan bantuan profesional atau salah satunya menghindari perasaan cemas itu sendiri.

Bagi sebagian orang, cara tercepat meremas cemas adalah memukul balik sumber kecemasan itu. 

Ringkasnya dengan membuat benteng pertahanan diri yang mengeneralisir semua kritik dan masukan. Potensi kecemasan yang bersumber dari pendapat dan tindakan orang lain wajib dihabisi betul. Lambat laun nantinya menjadi kesadaran, lalu berubah menjadi kebiasaan ritmik.

Maka munculah objektifitas tingkat tinggi. Dalam hal ini bukan objektifitas untuk pihak lain, tapi diri sendiri yang menyortir apapun hanya untuk kepentingan pribadi karena terbiasa seperti itu. Pihak yang demikian merasa dirinya berimbang dalam menenangkan situasi, tapi sebetulnya hanya untuk mereduksi kecemasannya saja. 

Mencoba mengurai semua masalah dengan tujuan bukan untuk melegakan semua pihak, tetapi agar dirinya tidak tertekan dan cemas berkelanjutan.

Jika seseorang yang haus superioritas dan dipenuhi hasrat untuk diakui, sebetulnya mereka tidak mampu menerima kejadian yang tidak terduga. Variabel pengganggu itu harus dihilangkan atau disublim. Seluruhnya harus dalam kontrol, seketika meleset ia bertindak mengeliminir sumber kecemasan itu dengan membuat pembenaran pribadi secara masif.

Sebetulnya kecemasan pribadi muncul rata-rata karena terlalu ambisius. Logikanya hilangkan ambisi supaya tidak cemas, kan begitu. Namun, apakah manusia bisa hidup tanpa ambisi ? Tugas kita sekarang adalah mengenal ambisi kita sendiri, sejak kapan ia muncul, seberapa kuat, sampai skala dampaknya. 

Jangan-jangan demi mencapai ambisi kita meniadakan humanisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun