Tengoklah, hampir setiap hari pengendara motor maupun mobil berlalu lalang. Sesekali pernah atau bahkan sering menjumpai perilaku pengendara yang mayoritas seenaknya. Contoh yang perlu disorot ialah membuang bungkus apapun lewat kaca jendela mobil, atau menyentil puntung rokok ketika berkendara, hingga abunya menyeruak ke mata.Â
Ini bukan soal tradisi buang sampah sembarangan yang konon sangat melegenda di Indonesia. Ini lebih menyangkut kepada perilaku kita yang membuat kerusakan tatanan hampir di semua lini.Â
Penyakit boleh bemacam-macam variannya, tapi sumbernya ternyata satu : diri sendiri.
Prioritas kita terhadap diri sendiri ternyata dianggap masih luar biasa. Sayang, konsep membersihkan diri tanpa peduli kebersihan tetangga adalah hal yang biasa. Sekedar diminta bergotong royong merapikan lingkungan sendiri beratnya minta ampun. Akibatnya, yang bersih dan yang kotor, yang lebih dan yang kurang, sudah biasa rukun berdampingan dengan kontrasnya. Bakat disertai kesanggupan mengotori tanpa sanggup membersihkan adalah hegemoni kita.Â
Terdengar sarkatis, faktanya kenapa WC umum selalu jorok keadaannya, bus kota selalu cepat mogok, piranti-piranti berat selalu lupa tak diurus, selalu butuh dana perawatan, dan uniknya selalu berkurang tiap periode. Apalagi yang bisa diharapkan dari masyarakat yang hanya bisa memakai tanpa mau merawat, hanya mau enak tapi cuci tangan terhadap tanggung jawabnya.
Masyarakat seperti ini pasti akan merosot mutunya. Baru-baru ini contohnya, jika membentuk kesebelasan sepak bola pasti akan menjadi kesebalasan yang lemah. Yang kuat cuma suporternya. Semakin mempertegas bahwa betapa lemahnya kekuatan yang kita miliki, kenapa ? Â Karena kita hanya mampu mengalokasikan energi untuk berbuat onar dan membuat kerusakan wabil khusus acuh tak peduli. Keacuhan ini nampaknya jika disemai akan berbuah menjadi ke-aku-an yang dominan.
Salah satu kekhawatiranku adalah kesalahan dalam meletakkan âakuâ di berbagai tempat. Unsur âakuâ adalah wujud dari ego yang diperhalus secara menahun. Jika mis-intonasi sedikit saja, misal meninggikan keâakuâan, tinggi pula penghakiman publik.Â
Resiko seperti itu tidak cocok untuk kesehatan batin, setidaknya bagiku.
âAkuâ muncul ketika merasa bisa menguasai segala hal, mulai mempermasalahkan bab receh, dan klimaksnya over confidence atas secuil apapun pencapaian. Ringkasnya apapun yang kuperintahkan wajib dalam kendaliku, duniamu harus diisi âakuâ. Jika perlu saat berpapasan, wajib setiap orang tahu bahwa aku adalah âakuâ. Buahnya pengakuan. Repot betul urusan ini.
Dalam hal ini perlu sesekali menegaskan diri, berteriak siapa bosnya kepada aku yang memiliki âakuâ. Siapa yang take the lead. Siapa yang memberi perintah skala ring satu. Bukan terbalik, âakuâ yang sebetulnya bukan aku.Â
Setidaknya pernah ada kiasan, sifat manusia tidak sekalipun berubah, yang bergeser hanya cara pandang kita terhadap sifat aslinya.
Kabarnya, metode komunikasi dengan âakuâ tidaklah sederhana. Perlu penanganan khusus, karena tidak mudah berdamai dan menerima diri sendiri. Perlu timing, jika kita kembali kepada kalimat di paragraf kedua, bila disinyalir menderita akibat sumber penyakit yang sejenis, mari kita bersihkan bersama. (kkh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H