Mohon tunggu...
Kukuh C Adi Putra
Kukuh C Adi Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi Pendidikan | @kukuhcadiputra

GTK Inovatif Kategori Guru SMK Tahun 2023 - BBGP Jawa Tengah | Pengisi Konten Selepas Subuh✨ on Youtube : @kukuhcadiputra | Certified Trainer and Asessor BNSP RI

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebutuhan untuk Diperhatikan

30 Maret 2023   14:05 Diperbarui: 30 Maret 2023   14:14 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setidaknya dalam sebulan terakhir muncul beberapa berita viral, salah satunya adalah penganiyayaan yang dilakukan oleh seorang anak pejabat yang membuat salah satu Kementerian disorot habis-habisan. Bak bola salju yang terus bergulir, tidak hanya latar belakang sang pelaku, melainkan seluruh keluarganya terekspos media. 

Sejenak, mari kita ingat kembali akar masalah mengapa peristiwa itu terjadi, muncul satu kata yang cukup mewakili : Terhina. 

Awal cerita bermula ketika kekasih pelaku merasa dilecehkan dan dirugikan oleh korban. Sebagai pasangannya, pelaku merasa memiliki kewajiban untuk bertindak, lengkap dengan atribut perangainya, api amarah tersulut dan nahasnya ia merasa 'terhina' secara sepihak tanpa klarifikasi tiga arah. 

Mari kita bayangkan keadaan terhina itu. Meriangnya sampai ke jiwa dan menekan dada. Jika melihat sang penghina rasanya ia hendak kita lumat hingga selumat-lumatnya. Cara paling sehat untuk membuang perasaan terhina ini adalah dengan cara menyalurkan dengan segera. Sayang cara ini tidak mudah karena berbagai keterbatasan.

Prie GS dalam artikelnya menjelaskan, cara yang pertama adalah keterbatasan hukum. Melumat begitu saja para penghina, jatuhnya cuma akan melanggar hukum. Padahal tak setiap dari kita kuat dan berani melanggar hukum. Kedua adalah keterbatasan kita sendiri. Contoh kedua ini dililustrasikan dengan baik oleh maestro lawak Jawa : Junaedi. Saat itu ia bercerita tentang istrinya yang digoda lelaki iseng di jalanan. 

Sebagai suami terhormat ia marah luar biasa dan bersiap melabrak sang penggoda. Untung kemarahan itu tidak mengganggu akal sehatnya. Sebelum main labrak ia bertanya lebih dulu keadaan sang penggoda itu. "Tinggi besar," jawab sang istri. Junaedi surut setindak dan gantinya cukup memberi nasihat bijak, "Ya sudah, besok jangan lewat jalan itu lagi".

Psikologi seperti Junaedi itulah yang kadang-kadang kita derita. Tak mudah menyalurkan perasaan terhina karena banyak sekali batasannya. Jika cuma batasan hukum, kita mudah menerimanya karena ia menghuni keadaan banyak orang. Tetapi jika keterbatasan itu berpusat pada diri sendiri ia akan menjelma jadi depresi. 

Dalam kasus di atas, pelaku mendobrak semua batasan itu. Ia merasa kebal terhadap hukum karena orang tuanya memiliki pengaruh. Sayang, semua tak seindah yang ia kira. Rasanya kita diingatkan kembali bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Begitu berbahaya keadaan terhina itu sehingga penting sekali mengurangi jumlah penyebabnya. 

Jika dianalogikan perasaan "terhina" adalah telurnya, lantas siapa induknya ? 

adalah perasaan ingin diperhatikan. Segala tindakan pelaku tak ayal berinduk kepada keinginan untuk diperhatikan dan membalas perhatian pasangannya. Ternyata memang, sejauh penelusuran netizen, pelaku dirasa memiliki kecenderungan ingin diakui dan gemar membagikan momen-momen sejenis flexing. Mari sejenak kita perhatikan induknya ini, jika salah kelola tentu berujung menjadi telur-telur yang merugikan kita di kemudian hari.

Beberapa kawanku -memang tidak banyak- namun ada yang rutin membagikan momen atau apapun yang ia miliki via media sosialnya. Alasan kenapa ia gemar menunjukkan apapun adalah soal yang sejatinya bukan urusan kita. Tetapi akhir-akhir ini perilaku tersebut menjadi candu Nasional, jika berlebihan rasanya seperti flexing. 

Secara pribadi aku paham betul, tak mudah mencapai dan memiliki apa yang telah diraih. Apalagi menahan godaan tidak merayakannya secara maya dan nyata, sulit ! Oleh karenanya di bulan Ramadhan ini muncul beberapa kebijakan birokrasi yang intinya ajakan untuk menyederhana.

Baiknya kita pahami hukum proses, seseorang yang baru pertama melewati jalan yang indah penuh bunga pastinya akan takjub dan membagikan setiap momennya. Namun, ketika ia sering bersua lambat laun akan membiasakan diri. 

Begitu pula flexing, pada kondisi tertentu, akan ada titik jenuh dan mulai berpikir : "Ah ngapain sih". Memang butuh waktu, setidaknya biarkan sejenak mereka memenuhi kepuasan berproses tersebut. Namun kendali mutunya harus jelas, mau berlama menikmati prosesnya atau bergegas memparipurna nafsu.

Hierarki Kebutuhan Maslow (Sumber : https://brandadventureindonesia.com/)
Hierarki Kebutuhan Maslow (Sumber : https://brandadventureindonesia.com/)
Maslow dalam teorinya terlampau rinci menjelaskan tingkatan kebutuhan kita sebagai manusia. Teori tersebut dikenal sebagai Teori Hierarki Kebutuhan Maslow atau Teori Maslow, diantaranya :

1. Kebutuhan Dasar atau Fisiologi
2. Kebutuhan Akan Rasa Aman
3. Kebutuhan Sosial (Rasa Cinta, Kasih Sayang, serta Hak Kepemilikan)
4. Kebutuhan Mendapatkan Penghargaan
5. Kebutuhan untuk Mengaktualisasikan Diri

Kalau boleh diringkas, praktisnya cuma perlu merenungkan dan menjawab tiga pertanyaan berikut : 

Apa yang paling mahal, apa paling berharga, dan apa yang paling penting di dunia ? 

Jawabannya ialah kesehatan, keluarga dan perhatian. Ruang akomodir terbesar akan hausnya rasa perhatian adalah sosial media. Rasanya tepat jika sosial media dianggap begitu dekat tetapi sepertinya begitu jauh. Semakin kesini bukan lagi soal keduanya, melainkan cara membangun dan merawat citra. 

Buah daripada citra adalah persepsi. Baik tidaknya persepsi tergantung cara mengemas citra itu sendiri. Sosial media menjalankan fungsinya dengan baik. Ia tidak dibuat fasih berbicara. Jika didesain memiliki jiwa, mungkin ketika hendak memposting sesuatu, ia memberi ratusan nasihat. Dalam dunianya, kita diarahkan kepada citra bukan sejatinya diri. 

Disadari atau tidak ia lebih memilih diam, penggunanya dibuat ramai. Ia lebih memilih menampung, penggunanya dibuat menimbun. Sosial media memang sedingin itu, supaya kita yang selalu membuka topik dan memulai pembicaraan. Ia seperti, cuma butuh diperhatikan. Uniknya, kita pun demikian. (kkh)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun