Secara naluri sebetulnya kita menolak untuk tidak punya apa-apa, karena dorongan kepemilikan dan kepuasan selalu berekskalasi terus-menerus. Rasa puas ketika memiliki ini dan itu membuat diri sendiri tanpa sadar melupakan hakikat penting yang telah melekat sejak kita dilahirkan.
Mari kita renungkan sejenak, tidak seorangpun yang lahir di dunia ini dengan membawa suatu benda, pun saat kita nanti menutup usia.
Disadari atau tidak, semua orang mengawali hidup sebagai minimalis. Nilai diri kita tidak ditentukan oleh seberapa banyak barang yang kita miliki. Sebetulnya semua benda yang tidak kita perlukan sebetulnya hanya menghabiskan waktu, energi, dan kebebasan.
Buktinya ? Coba saja ketika Anda merapikan, berberes rumah, dan mengeluarkan barang yang tak perlu, ketika semua tertata rapi pasti memunculkan perasaan lega. Betul ?
Namun ketika Anda tak kunjung selesai merapikan dan bahkan bingung menempatkan barang yang memiliki sejarah penting contohnya, bagaimana perasaan Anda ? Bikin tambah stress lho.
Anda kehilangan kemampuan untuk memilah dan memisahkan barang yang benar-benar penting. Tak sadarkah Anda perlahan- lahan menjadi pribadi yang maksimalis ! Anda menjadi tak bebas !
Di dalam film fight club, tokoh Tyler Duncan menyampaikan kondisi kita dengan sangat baik : “Barang yang kau kuasai, akhirnya ganti menguasaimu.”
Pertanyaan mendasar, apa sih minimalis itu ? Sampai saat ini belum ada definisi yang mengikat. Bagi saya pribadi minimalis adalah terkait sudut pandang mengenai hidup yang menyederhana.
Menurut Fumio dalam bukunya “Goodbye Things-Hidup Minimalis ala Orang Jepang”, adalah orang yang bisa membedakan kebutuhan dan keinginan-keinginan karena ingin menampilkan citra tertentu- serta tidak takut mengurangi benda-benda yang termasuk keinginan.
Tentunya memilah kebutuhan dan keinginan pada setiap orang sangatlah luas dan kompleks. Tetapi jika niatnya ingin hidup menyederhana pasti Anda punya jalur cepat dalam memahami keduanya.
***
Mengapa kita mengumpulkan banyak barang ?