Sejarah mencatat, butuh waktu 38 tahun radio mendapatkan 50 juta pengguna. Televisi berwarna mencapainya dalam kurun 13 tahun. Facebook lebih cepat lagi, hanya butuh waktu sekitar 3.5 tahun saja. Instagram ? 2 tahun ! Game Angry Birds lebih sadis, hanya membutuhkan waktu 35 hari saja untuk mencapai jumlah pengguna di atas.Â
Lalu bagaimana jika suatu portal informasi yang menerbitkan artikel lewat jalur internet, berapa hari atau bahkan detik yang mereka butuhkan untuk mendapat 50 juta pembaca ? Kesimpulannya adalah akses informasi dewasa ini jauh lebih mudah, lebih instan dan praktis secepat cahaya.Â
Pernahkah kita mendengar sebutan netizen yang budiman, maha benar, maha tahu, dan sebutan lainnya ? Tentunya sangat familiar sekali di telinga kita.Â
Sebutan yang menurut sebagian orang adalah hal wajar atau mungkin karena untuk lucu-lucuan saja, sehingga tidak terlalu dibawa serius. Dan menjadi sangat wajar jika otak kita mampu merespon dengan cepat pergulatan informasi yang saat ini dipemudah sekali aksesnya.Â
Hal tersebut perlahan menimbulkan gairah ingin tahu lebih dulu dan imbasnya berkomentar secepat cahaya tanpa tahu duduk permasalahannya. Lalu apa dampaknya ?
Sumber : www.goodnewsfromindonesia.id
Berdasarkan hasil survey APJII tahun 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia melonjak 7x lipat dalam kurun waktu 10 tahun sepanjang tahun 2007 sampai dengan 2017.Â
Dan pada survey yang sama, mayoritas pengguna internet menghabiskan waktunya untuk chatting dan bersosial media. Arus informasi yang cepat dan instan yang membuat siapa saja lebih mudah mengakses ternyata menimbulkan sifat agresif dan terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu. Karlina Supeli (2013) menyebutnya sebagai "Budaya Komentar". Â
Salah satu tanda matinya kepakaran adalah munculnya komentar orang - orang awam di media sosial atas berbagai persoalan. Masalahnya, budaya komentar ini tidak dibarengi pengetahuan yang kukuh dan data valid. Kehadiran Google semakin membantu orang-orang narsis dan sok tahu untuk mengomentari sesuatu yang bukan keahliannya.Â
Hal ini semakin memicu hilangnya kepercayaan terhadap para pakar, bukan lantaran mereka tidak kompeten, melainkan karena massa merasa tahu akan segalanya.Â
Mobilisasi informasi yang tak terbendung terkadang bukan menambah pengetahuan atau referensi yang benar atas suatu isu, melainkan menjerumuskan massa ke dalam suatu kubangan berita daif yang kita sebut sebagai hoax dewasa ini.Â
Tom Nichols dalam risalahnya : Matinya Kepakaran, membenarkan adanya kecenderungan mencari informasi yang memperkuat penjelasan yang disukai, dan menolak data yang menentang sesuatu yang sudah kita terima sebagai kebenaran. Agaknya kita harus lebih kritis, cermat dan teliti menahan berita dan memvalidasi kebenarannya secara mandiri.
Dalam kolom mingguannya, A.S. Laksana memberikan usul agar mengedepankan penilaian kritis dengan mengajukan tiga pertanyaan : Apakah informasi ini dari sumber yang bisa dipercaya ? Siapa yang menyampaikannya ? Dan, Apakah yang saya baca ini opini atau fakta ? Berpikir kritis membantu kita untuk tetap independen.Â
Sehingga tidak ada lagi persoalan hutang negara yang begitu cepatnya dikomentari para netizen melebihi para pakar, atau terombang - ambing menjadi kawanan yang digembalakan ke sana kemari oleh kepentingan politik. Cukup inovasi teknologi saja yang berkembang secepat cahaya, jempol dan komentar kita jangan. Sebutan di atas sungguh sangatlah tidak lucu. (kkh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H