Sempat kutanyakan kepada kedua orang tuaku, pemilihan Presiden nanti mau memilih siapa. Bapak Ibu kompak tanpa janjian menyebut salah satu nama calon dan kebetulan sosok yang sama. Kemudian beliau menanyakan balik, agar tak berat sebelah kusebut calon satunya. Dan ajaibnya, selesai sudah percakapan kami. Kukira akan ada persamaan pandangan, karena bagaimanapun juga sulit untuk tidak mengajak mendukung salah satu calon pasangan.
Berbeda pandangan dalam memilih pemimpin sangat wajar di keluarga kami. Sebagian condong ke sini, yang lain condong ke sana. Pernah ketika pemilu tahun 2004, di tempat tinggalku salah satu pasangan cuma mendapat satu suara. Usut punya usut ternyata Ibu yang memilih. Sewaktu kutanyakan alasannya, Ibu berkata, "Mesakke gak ono sing nyoblos." (Baca : kasihan, tidak ada yang milih). Sesederhana itu.
Setelah pemilu 2004, hajatan nasional terbesar tersebut selalu meninggalkan pelajaran penting bagi pemilih. Tidak ada lagi alasan kasihan, dan sewaktu kulanjutkan percakapan di atas, Ibu lumayan detail memberikan pandangan kenapa harus calon ini yang dikhususkan. Yang perlu digarisbawahi : pemilih semakin cerdas dan lebih objektif dalam memberikan hak suara.
Guna meraup suara sebanyak mungkin, tim sukses kedua calon membuat strategi-strategi kampanye yang makin kekinian. Berbagai macam cara bermunculan, kurasa tak perlu dijabarkan mendalam, rekan-rekan di sini jauh lebih paham detailnya. Secara pribadi, sebetulnya sangat selektif kutangkap informasi yang berbau pemilu ini. Tujuannya cuma satu, demi menghindari wabah ‘rasan-rasan’ (Baca : menggunjing secara berlebihan).
Setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dari tahun ke tahun pemilih selalu dihadapkan kepada dua hal tersebut. Kita selalu dicekoki bahasa "Ini lho kelemahan si A, ini lho kelebihan si B, milih yang ini saja", kurang lebih begitu. Kita kesampingkan valid tidaknya data yang disuguhkan, poinnya adalah sepanjang perjalanannya strategi meraup suara tak beda jauh menganut metode di atas. Bahkan persilatannya semakin bervariasi dan harapannya tetap santun dan tidak saling menjatuhkan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menasehati sahabatnya Abdurrahman bin Samurah radhiallahu 'anhu dalam hadist riwayat Bukhori dan Muslim, kurang lebih begini : janganlah meminta kekuasaan demi ambisimu. Jika diserahkan kepadamu karena itu, niscaya kamu akan menanggung seluruh bebannya. Namun jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong.
Terlepas dari kelebihan dan kelemahan masing-masing calon, hati kecil kita selalu mampu menebak siapa yang sesungguhnya dalam posisi meminta dan diminta. Sayangnya, menjadi seseorang yang berkuasa tak pernah sekalipun sepi peminat sepanjang perjalanannya. Bersiaplah, ada masanya tren tersebut akan menurun, bukan kepada jumlahnya melainkan kualitasnya. Semoga kita semua diberikan sudut pandang yang luas dalam memilih dan memilah. Salam.
Semarang, 2 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H