Mari bayangkan, akun media sosial kita popularitasnya semakin hari semakin menanjak. Jutaan ribu bahkan sampai kepada bilangan angka yang disingkat saking penuh dan memakan tempat. Popularitas adalah kata lain dari privasi yang dikonsumsi secara publik. Siap atau tidak akan banyak doa, tanggapan, komentar, entah membangun ataupun yang tidak. Bersosial media harus disertai sikap santun dan terpuji. Suburnya ujaran kebencian adalah penanda; Semakin tinggi popularitas seseorang, semakin kencang angin yang menerpa.Â
Sampai sekarang pun, diakui atau tidak, secara mental kita diam di tempat, dan secara psikologis kita terbelah dalam dua kutub ekstrem pemuja dan pembenci. Mungkin tiga, yang satunya adalah kubu penonton yang acapkali mencemooh keduanya. Atau kutub keempat yang mungkin sedang membibit untuk dilahirkan di tahun depan.Â
Kusadur kutipan kolom A.S. Laksana kurang lebih begini : Para pembenci biasanya ngotot, dan ngotot adalah gejala umum orang-orang yang menolak prosedur berpikir, dan menolak prosedur berpikir adalah kata lain dari kebodohan. Ada satu lelucon lain: "Tuhan kelihatannya mencintai orang-orang bodoh; Dia menciptakannya banyak sekali."
Celakanya jika kemudian ngotot dilegalisir menjadi budaya nasional, justru dari judul di atas harapannya kutulis ''Ngotot" saja, kata "Budaya" biar anda sendiri yang langsung menghapusnya.Â
Jakarta, 28 November 2018