Belakangan ini publik Indonesia tengah disuguhi sebuah skandal yang begitu menghebohkan. Skandal ini melibatkan seorang pejabat yang memiliki kedudukan sebagai ketua dari para wakil Rakyat Indonesia, Setya Novanto sang ketua DPR. Skandan ini mencuat lantaran dugaan keterlibatan sang ketua DPR dalam rangka pembicaraan terkait perpanjangan izin usaha pertambangan PT Freeport Indonesia yang sebentar lagi akan berakhir. Masalahnya adalah pada saat pembicaraan tersebut terjadi semacam praktek “calo” dimana sang ketua DPR diduga menjadi aktor utama didalamnya.
Masalah sang Ketua DPR ini dalam sekejab menjadi buah bibir seantero negeri. Bahkan hampir setiap hari disetiap stasiun televisi dan surat kabar cetak maupun elektronik pasti terdapat berita tentang perkembangan kasus ini. Publik pun sangat antusias dalam menanggapi permasalahan ini, banyak celotehan dan taggar ramai diperbincangkan dalam media sosial. cibiran dan cercaan datang seperti badai yang menghantam, setiap gerak – gerik bahkan kehidupan pribadi menjadi sorotan bak selebritis yang tengah naik daun. Namun posisi ketua DPR masih tak bergeming seraya tetap membela diri dengan beragam jurusnya.
Secara tersirat tampak kegerahan publik pada permasalahan ini, publik pun nampak sudah muak karena memang hampir di setiap tahun pasti ada anggota DPR yang tersangkut berbagai kasus pidana, korupsi, dan etika. Namun sepertinya kasus inilah yang akan menjadi puncak krisis ketidakpercayaan masyarakat terhadap para wakilnya di DPR. Betapa tidak, seharusnya sebagai seorang yang memiliki integritas yang baik, serta menjadi panutan dan contoh, sudah selayaknya Setya Novanto sebagai ketua DPR menjelaskan duduk permasalahan yang membelitnya dengan baik dan komunikatif, serta kooperatif.
Namun yang terjadi malah sebaliknya berlagak seperti kesatria tanpa dosa dengan dibantu beberapa kolega, ketua DPR malah melancarkan serangan – serangan balik ke segala penjuru. Tak pelak hal tersebut makin runyam karena kini terhembus isu bahwa Mahkamah Kehirmatan Dewan yang mengadilinya tengah ikut berusaha membela sang ketua.
Menjadi sebuah pertanyaan besar ketika melihat beleid kasus tersebut, apakah yang sebenarnya diperjuangkan para anggota dewan?. Benarkah mereka yang duduk mewakili rakyat ditempat yang terhurmat itu benar – benar memperjuangkan kepentingan Nasional tanpa membawa kepentingan golongan serta pribadi?. Sungguh pertanyaan yang tidak pernah terjawab dengan memuaskan selama ini, apalagi melihat kasus yang kini sedang ramai diperbincangkan.
Pada dasarnya setiap orang memiliki identitas sosialnya sendiri – sendiri. Identitas tersebut tumbuh dari keikutsertaan dan keterlibatan mereka dalam kelompok. Dari identitas sosial itulah rasa cinta dan memiliki kepada kelompok dapat timbul, yang pada skala luas dapat menjadi awal dari nasionalisme.
Identitas nasional Indonesia adalah bagian dari identitas sosial orang Indonesia yang mestinya harus dipupuk agar mendorong masyarakat mencintai negerinya. Namun kasus yang terjadi melibatkan ketua DPR sebagai simbol wakil rakyat setidaknya telah menodai identitas nasional Indonesia. Bukan tidak mungkin, jika kasus ini terus berlarut – larut dan muncul kasus – kasus serupa, maka orang – orang akan mulai menanggalkan identitas nasionalnya. Dampak dari lunturnya identitas nasioanal tersebut bisa jadi akan menjadi bom waktu bagi Indonesia, contoh nyatanya mungkin lama – kelamaan masyarakat akan semakin apatis dan tidak peduli dengan bangsanya.
Harapan bagi kita bersama tentunya agar suatu saat nanti negeri ini menjadi lebih baik lagi. Menjadi negeri dengan para pejabat dan masyarakat yang lebih memiliki jati diri dan rasa malu. Menjadi negeri yang berintegritas, dan mau bekerja keras. Bukan menjadi negeri tempat para elit politik memeras uang rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H