Mohon tunggu...
Alvan Lazuardie Alkhaf
Alvan Lazuardie Alkhaf Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Mahasiswa Biasa, dan Pemimpi Besar

Mahasiswa biasa yang berkeinginan besar menjadi wartawan dan penulis karya sastra handal. Berkeinginan agar novel karya saya bisa difilmkan (insya Allah kalau ada yang mau melirik).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merayakan Reformasi

13 Juni 2020   14:00 Diperbarui: 13 Juni 2020   14:03 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jakarta, 12-20 Mei 1998

Salam perjuangan!

Aku sedang mereka-reka, kira-kira harapan apa yang diraih setelah kemenangan itu datang. Kamu, atau bahkan mereka yang memperjuangkan juga terobsesi dengan kemenangan dan keunggulan atas apa yang diraih. Pahit dan manis itu telah dicicipi bersama, bahkan kamu rela meninggalkan keluarga yang terlihat cemas akan nasibmu yang memperjuangkan rotasi kepemimpinan yang makin otoriter ini.

Darah, keringat, dan air mata sudah dicicipi bersama. Kamu pun merasakan sampai aku sendiri melihat bekas luka di wajahmu karena pukulan aparat saat berdemo di kampus dalam memperjuangkan semuanya. Detik demi detik sudah dihabisi. Lenggangnya jalan sekitar sudah berubah menjadi keramaian yang kacau. Malam ini kamu sudah lega, karena perjuanganmu menghadapi semuanya telah sedikit tercapai.

Sungguh kamu sudah luar biasa. Janjimu untuk bangsa ini bagaikan sinaran matahari yang terbit dan tenggelam tanpa adanya suatu kekeliruan. Sejenak melihat ke belakang lagi. Pecahnya demonstrasi dan aksi-aksi sporadis selama periode Februari hingga Mei ini, membuat kamu sepertinya ikutan bersuara menyuarakan semangat untuk "perubahan menuju perbaikan".

Kamu pun tidak takut dengan antagonisnya aparat yang tak segan menyatroni kampus untuk membubarkan aksi demonstrasi menuntut penurunan pemimpin yang kamu anggap tak peduli lagi dengan rakyat. Semua dijalani tanpa melihat atau meraba-raba akan kematianmu sendiri.

Menjelang kerusuhan di depan Trisakti, aku melihat kamu makan dengan lahap bersama dengan teman-teman kampusmu sebelum bergerak menuju lokasi demo yang disiapkan. Aku menatapmu tanpa berkedip. Antara sedih dan gembira, tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Barangkali Tuhan begitu baiknya bisa memberikan keselamatan dan kenikmatan hakiki untuk dia yang dengan semangatnya menginginkan arti perubahan itu, meski secara perilaku, Tuhan sangat marah dan tidak rela adanya chaos yang menimbulkan korban jiwa.

Aku merasakannya demikian. Tetapi tidak bagi kamu. Kamu terlalu berani dalam mengungkapkan ketidakadilan dalam pemerintahan yang baru dua bulan terbentuk. Kamu pernah menanyakan padaku, "Apakah Kakak terdiam melihat pemerintahan otoriter yang semakin menyengsarakan rakyat?"

Aku menjawab, "Tidak, Dik. Selama masih dikendalikan, semuanya akan baik-baik saja."

Kamu berkata lebih keras padaku, yang membuatku terhenyak akan keberanianmu, "Kak, coba lihat di luar sana. Banyak dari mereka tidak mendapatkan manfaat dari pemerintahan Kabinet Pembangunan VI sebelumnya. Belum lagi, Kabinet Pembangunan VII yang baru dibentuk Pak Harto, krisis semakin parah. Apa itu yang namanya masih bisa dikendalikan?"

"Kamu benar, Dik. Kakak yang keliru menilai pemerintahan selama ini."

"Bagus, kalau Kakak masih sadar akan semua itu."

Obrolan aku dan kamu semakin membuatku menangis tidak karuan. Entah aku merasakan adanya kekhawatiran yang mendalam akan keselamatan dirimu ketika melakukan demonstrasi demi semua itu. Mau marah, tetapi sama siapa. Mau mengeluh, tetapi sama siapa lagi. Bimbang rasanya hati ini melihat kondisi bangsa ini yang hancur babak belur akibat sikap otoriter pemerintahan ini.

Dalam sholat tahajud yang aku lakukan malam itu, aku berdoa dalam hati yang amat dalam, Ya Allah Ya Tuhanku! Seandainya Indonesia masih terus dalam keadaan mengawatirkan, aku tahu akan semua konsekuensi kalau aku tidak memikirkan dampaknya kemudian. Perpecahan dan permusuhan antar anak bangsa sudah terjadi. Apakah aku harus mengikuti suara hati masyarakat, terutama mahasiswa, yang menginginkan perubahan? Berilah hamba petunjuk dariMu, Ya Allah!

Sambil menunggu, izinkan aku berkelakar soal bungkamnya kebebasan berekspresi dalam menyampaikan kritik terhadap anggota dewan yang sering berplesir ke luar negeri dengan pemimpin negara, tanpa memerhatikan rakyat di luar sana yang membutuhkan pembangunan di pemerintahan yang katanya "mencanangkan arah pergerakan pembangunan realistis".

Padahal, mereka-mereka itulah yang senang menghambur-hamburkan uang untuk tujuan STUDI BANDING ke luar negeri. Apakah itu yang disebut "mencanangkan arah untuk pergerakan pembangunan realistis" untuk kemajuan Indonesia? Barangkali kalau aku jadi mereka, mungkin saat ini aku akan dibakar hidup-hidup oleh rakyat dan mahasiswa yang muak dengan janji-janji palsu tanpa adanya kerja yang nyata.

Media sangat berperan dalam menyuarakan kritik dan saran masyarakat melihat sikap anggota dewan yang terlihat keluar jalur dan kerap memenangkan ego. Namun, setelahnya dibungkam dengan alasan kritik yang tidak masuk akal dan membahayakan reputasi pemimpin negara di mata internasional. Hei, itu, kan, hanya kritik demi perubahan yang lebih baik demi Indonesia. Masak kalian bilang itu tidak masuk akal dan membahaykan pemimpin negara? Mikir, dong! Makiku dalam hati.

Oleh karena itu, mahasiswa, yang mewakili rakyat, menginginkan perubahan dari sistem yang sangat otoriter. Disaat yang sama, krisis moneter yang membuat Indonesia babak belur pun membuat mereka menginginkan keinginan yang sama. Apa harus terdiam melihat Indonesia menjadi miskin dan tidak aman lagi bagi dunia? Semuanya, termasuk aku, akan berkata tidak.

Tanpa disadari, demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan tidak terkendali. Yang aku dengar dari teman-temanmu, kamu dikabarkan terluka pada bagian wajah akibat kena pukulan aparat yang mencoba membubarkan pengunjuk rasa di depan kampus. Bergegaslah aku ke rumah sakit bersama teman-temanmu sesaat setelah kerusuhan. Aku terkejut melihat kamu berbaring di ranjang selasar rumah sakit. Aku menangis sejadi-jadinya melihat kondisimu yang berlumuran darah. Aku berkata, "Dik, kamu tidak seharusnya maju untuk membela mahasiswa lain yang ditangkap aparat. Kamu jangan sekalipun menyakiti dirimu sendiri,"

Kamu menjawab, "Enggak pa-pa, Kak. Yang penting aku nggak mati konyol di hadapan mereka. Perjuanganku masih belum selesai, Kak."

Aku berkata lantang dalam tangisku, "Ya tapi kamu jangan nekat. Aparat sekarang telah menjaga ketat sekitaran Trisakti pasca-kerusuhan menyeramkan itu, Dik! Ingat, kamu jangan mereka-reka kematianmu sendiri. Kamu masih muda dan aku sangat menyayangimu. Kalau kamu menginginkan Pak Harto jatuh, aku mendukung kamu dengan berdemonstrasi. Tapi, kamu jangan mempermainkan hidupmu dengan menerobos barikade aparat yang memaksa membubarkan demonstrasi..."

Entah apa yang akan terjadi setelah ini.

Kamu sudah menikmati dampaknya, bukan? Pada akhirnya kamu akan mengerti bahwa perjuanganmu sebagai mahasiswa tidak dibayar dengan bayang-bayang kematian yang telah kamu reka sendiri.

***

Hari yang dinantikan itu telah tiba, 21 Mei 1998.

Aku senang kamu sudah kembali sehat dan bisa berangkat ke kampus menyapa teman-teman seperjuanganmu untuk menanyakan perkembangan selama kamu istirahat di rumah. Kabar gembira itu datang dari sebuah siaran berita televisi. Soeharto akan membacakan pidato pengunduran dirinya. Itu sebuah berita besar yang telah lama sekali dinanti-nantikan. Akhirnya pemerintahan otoriter dan bengis itu jatuh juga, pikirnya dalam hati.

Pesawat televisi di aula kampus dinyalakan. Siaran RCTI yang me-relay siaran resmi TVRI. Pidato pengunduran diri Soeharto. Dengan seksama, para mahasiswa menyimak apa yang disampaikan pemimpin berusia 76 tahun itu.

Semula raut wajahnya suam-suam kuku, namun ketika Soeharto membacakan inti pidato itu yang aku tak ingat isi dan alinea berapa, yang berbunyi begini: "...saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998...", suasana aula itu penuh dengan sorak-sorai kebahagiaan. Ada yang mengucap syukurnya kepada Ilahi, dan ada juga yang meluapkan ekspresi kegembiraannya dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan.

Sedetik demi detik sudah dihabisi, waktu terus berjalan, hidup dan mati pun dihadapi dengan sigap. Kepakan sayap sang penentu kehidupan juga terbang dengan indahnya. Inilah kemenangan mahasiswa dan rakyat yang menginginkan perubahan menuju perbaikan. Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09:30, adalah saksi. Perpindahan kekuasaan yang otoriter dan kejam dalam menghabisi lawan politik itu pun terjadi. Tidak ada yang merencanakan, dan ada juga yang menginginkan perpindahan itu. Mengalir dengan indah tanpa batasan.

Semua sudah menjadi takdir dari sang pemilik kehidupan. Soeharto sudah jatuh. Inilah babak baru yang harus dimasuki dan dijalani. Bukannya apa-apa, tetapi Indonesia sudah saatnya memasuki lembaran baru yang diharapkan akan menambah kesadaran kita, bahwa people power does exist. Tidak ada yang bisa menghalangi gerakan itu.

Aku dan kamu sudah berhasil merayakan reformasi. Ibarat ulang tahun, reformasi harus dijaga. Umurnya pun tidak ada batasan. Menunggu generasi berikutnya merasakan, pastinya akan merasakan, tetapi hanya mendengarnya sebagai sejarah. Terukir abadi.

"Selamat merayakan reformasi. Semoga sehat selalu."

 

Cerpen ini didedikasikan untuk mereka yang berharap agar bangsa ini menjadi bangsa lebih bermartabat dan dicintai rakyatnya. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun