"Apa iya, Bu?"
"Iya. Bahkan kalau kamu menanyakan ini ke teman-temanmu, pastinya akan menjawab dengan hal serupa. Dia selalu dielu-elukan kalau tengah bertanding."
Obrolan itu terhenti. Aku segera menyantap bakwan sayur buatan ibuku lalu setelahnya aku memijat pundak ibuku yang kelihatannya pegal sekali membereskan rumah seharian. Ibuku menatapku tersenyum penuh melihat anak satu-satunya ini dengan bakti dan cinta.
Keesokan paginya, aku dan ibuku menyiapkan sarapan paling pagi karena kami berdua akan mempunyai agenda masing-masing. Aku ingin melihat sesi latihan timnas jelang laga kontra Malaysia, sedangkan ibuku tetap bertugas jadi ibu rumah tangga dan akan menghadiri pesta pernikahan anak dari kerabat dekat ibuku. Karena kapasitasku sebagai wartawan media cetak, aku sudah putuskan ingin liputan sendiri kesana tanpa bantuan fotografer yang biasanya selalu menemaniku. Aku berangkat jam delapan dari rumah dan tiba pukul setengah sembilan. Sesampainya di dalam stadion, suasananya sudah penuh dengan penggemar dan wartawan yang ingin mengonfirmasi langsung si pemain itu. Benar tidak keputusannya ini? Bagaimana bisa ia berhenti karena menggeluti hobi tidak jelasnya itu? Blablabla...
"Ia belum bisa diwawancarai untuk saat ini," begitulah kata seorang pelatih timnas, Abdul Jauhari, yang datang menghampiri wartawan dan penggemarnya dengan ekspresi tidak nyaman. Maklum, pelatih setengah baya ini sudah dikenal sebagai sosok yang 'angkuh' dengan siapapun yang tidak dikenalnya.
Beberapa menit kemudian, pemain itu seketika menghampiri kerumunan orang itu, dan berkata, "Iya saya akan mengundurkan diri setelah laga ini. Jadi untuk para penggemar saya, mohon doanya agar saya bisa menjalani hobi baru saya dengan nyaman dan jangan kecewa dengan hal ini." Penggemarnya yang kebanyakan perempuan itu sontak menangis dan ingin memeluknya untuk terakhir kalinya sebagai bentuk perpisahan.
Sepekan kemudian setelah pengumuman itu, pertandingan sakral terjadi. Ia mampu bermain dengan cemerlang dan mampu mencetak gol pertama di setengah jam pertama. Skor menjadi 1-0. Kemudian pada setengah jam berikutnya, sebuah gol kedua tercipta oleh tendangan kerasnya dan menjadikan skor timnas berubah menjadi 2-0 hingga menit-menit terakhir tanpa balasan dari pemain Malaysia. Aku menonton ia bertanding bersama ibuku dan langsung bersorak kegirangan begitu kemenangan sudah didepan mata.
"Kamu merasakan hawanya?"
"Iya, Bu. Setelah ini ia langsung undur diri," kataku dengan mata berkaca-kaca.
Ibuku mengerti apa yang aku rasakan. "Nak, ibu juga merasakan sedih itu dengan cukupnya. Kamu boleh menangis dihadapan ibu juga tidaklah apa."
Seketika aku memeluk ibuku dengan tangis kebahagiaan dan awal sebuah kehancuran yang sebenarnya. Ia berhasil menghancurkan impiannya menjadi pesepakbola profesional dengan begitu mulusnya. Dan kini, ia mulai menapaki kehidupan barunya setelah dari lapangan hijau yang sudah menjadi zona nyamannya. Beberapa bulan kemudian, aku berhasil menemukannya ketika tengah latihan dengan salah satu komunitas gaya bebas di sebuah taman terbuka hijau. Ia tersadar ketika melihatku ada disitu dan berusaha menyapaku dengan kehangatan serupa ketika pertama kali menyapaku dulu.