Mohon tunggu...
Equus Caballus
Equus Caballus Mohon Tunggu... -

This is a call.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Harga Karya Musik dan Masa Depan Album Fisik

13 Mei 2012   14:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:21 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang membuat Anda membeli sebuah karya musik?

Saya yakin salah satu pertimbangannya adalah harga. Nah, saya pernah ngobrol dengan beberapa orang tentang masalah ini. Jawabannya menarik sekali dan menjadi tantangan besar dunia musik dalam negeri.

Jika kita masuk ke toko kaset dan CD, kita akan menemukan harga yang berbeda-beda. Cakram digital pemusik lokal saat ini berkisar pada harga Rp 25.000 hingga yang menengah atas sekitar Rp 75.000—beberapa bahkan ada yang mencapai Rp 100.000!

Dalam satu album yang biasanya berisikan sekitar 10 lagu, dengan harga sebuah CD Rp 75.000 berarti rata-rata per lagunya adalah Rp 7.500. Buat beberapa orang mungkin ini harga yang tak murah. Namun banyak juga yang menjual lebih rendah, misalnya band-band baru yang tidak dinaungi label besar. Untuk informasi, rerata harga satu lagu Indonesia di sebuah layanan jual beli musik digital adalah berkisar dari Rp 2.000 hingga Rp 9.000.

Saya lalu bertanya ke seorang teman yang ngeband, bagaimana mereka mengelola bisnis ini dari album pertamanya. Ternyata mereka mencetak albumnya terbatas, hanya 500 keping dan dengan modal sendiri pula! Setelah ongkos produksi semuanya dihitung, didapatlah angka Rp 25.000 untuk menebus sekeping karya musiknya. Terjual habis. Hasil akhirnya katanya untung. Syukurlah.

Saya tak sempat bertanya apakah ongkos produksi itu sudah termasuk jerih payah kreativitas pembuatan musik. Jika tidak, berarti karyanya dihargai murah sekali.

Saat ini album keduanya sedang beredar di pasaran dengan jumlah yang lebih besar dan distribusi yang lebih ciamik. Bandnya ditanggap oleh label yang cukup hebat, jadi tak perlu gerilya sana-sini lagi dan repot-repot berjualan.

Sementara dalam perhitungan label besar, harga dasar satu keping CD musik ternyata ada rumusnya (harga retail dikalikan dengan selisih persentase diskon yang ditentukan distributor atau label). Namun karena angka diskon dan embel-embel lain bisa bervariasi, akhirnya muncul perbedaan pada angka final.

Lalu saya bertanya lagi apa yang menyebabkan kenaikan harga karya musik akhir-akhir ini. Beberapa menjawab karena ongkos produksi juga naik. Beberapa ngos-ngosan di harga Rp 25.000 hingga Rp 35.000, berharap dengan untung tipis tapi penjualan tetap lancar.

Saya jadi teringat salah satu band lain yang meluncurkan album terbarunya di medio tahun ini. CD-nya dijual Rp 25.000 dan berisi 10 lagu. Dengan struktur royalti saat ini dan jumlah yang dijual terbatas, saya bisa bayangkan pendapatan mereka, apalagi jika hanya bergantung pada musik.

Namun seperti yang disebutkan di awal tulisan ini, masih banyak yang menganggap kisaran tersebut mahal. Harga sepertinya berpengaruh besar juga pada pembajakan, walau mungkin bukan faktor utama.

Fakta inilah yang membuat album fisik tak lagi punya taring, apalagi jika dibandingkan dengan penetrasi digital. Dalam waktu dekat mungkin kita tak akan membeli album penuh lagi—seperti yang sudah mulai saya pikirkan saat ini (dan sudah ada beberapa layanan untuk membeli musik digital).

Banyak band bagus bermunculan dan bisa bertahan—namun tidak dari penjualan album fisik. Bayaran untuk penampilan di panggung menjadi sumber utama—dan penjualan merchandise jadi tambahan. Beberapa dari mereka mulai merambah ke proses digital, walaupun masih dalam proses “cek ombak” karena kebanyakan masih memberi secara gratis. Beberapa memperbaiki manajemen dan penguatan hubungan via media sosial. Perubahan memang telah dimulai.

Tak jauh di masa depan, mungkin penjualan album fisik akan semakin terbatas dan hanya dibeli oleh para kolektor saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun