Mohon tunggu...
Kucril
Kucril Mohon Tunggu... -

Proyek penulisan fiksi mini kolaboratif. Silakan masuk melalui tautan di bawah untuk membaca kisah lain yang telah kami unggah. Salam. . . https://kumpulanceritakecil.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kaki-kaki Kelaparan

30 Juli 2018   01:23 Diperbarui: 30 Juli 2018   02:02 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pasar itu, Sul!"

"Lihat, Pasar itu..."

Samsul berbicara di dalam hati kala mendapati dirinya telah berdiri di ujung terminal angkutan kota. Sepelemparan batu di hadapan, bangunan dua lantai itu masih jua menjulang. Tak berubah, kecuali cat yang mulai memudar dan mengelupas di sana-sini.

"Pasar itu, Sul..."

"Ayunkan kakimu..."

"Pasar itu..."

***

"Jangan pergi ke pasar!"

Perintah itu selalu diterima Samsul dari ibunya saban Ramadan datang. Disusul satu alasan yang diulang-ulang: di sana banyak setan ---atau iblis atau apapun namanya--- yang kelaparan yang siap memangsa mereka yang tidak kuat iman.

"Berwujud kaki-kaki."

Sebagai bocah yang duduk di awal sekolah dasar, Samsul tidak membantah. Ia takut setan. Atau iblis. Atau apapun namanya. Kendati di sisi lain, pikirannya berkecamuk dan bingung.

Dalam ceramah ustaz yang selalu didengarnya di masjid, setan ---atau iblis atau apapun namanya--- selalu dibelenggu saat Ramadan. Lantas bagaimana setan ini bisa berkeliaran, bahkan dapat memakan manusia?

"Mungkin yang ini lebih hebat dari Ifrit," demikian ia lagi-lagi berbicara di dalam hati.

Bertahun-tahun Samsul menuruti larangan tersebut, sampai di ujung masa sekolah dasar ia akhirnya membangkang.

"Aku ingin melihat setan berwujud kaki itu," kata Samsul kepada Ramlan, teman sekelas yang diajaknya ke pasar.

Keduanya lantas pergi selepas zuhur, memasuki pasar yang hiruk-pikuk oleh pembeli jelang Idulfitri. Mereka melepaskan pandang tajam ke setiap sudut, tak ingin melewatkan kesempatan jika setan itu tiba-tiba muncul lalu tiba-tiba pergi. Terus berkeliling hingga tenggorokan mulai terasa kering. Semangat pun mulai luntur. Hingga Ramlan tiba-tiba menukas.

"Kita lihat bagian belakang pasar sebelum pulang."

Samsul membalas dengan mengerutkan alis. Selama ini, ia tidak pernah berani ke sisi belakang pasar. Cerita mengerikan tentang wilayah itu terlalu sering mampir ke kupingnya. Bahwa di sana adalah tempat nongkrong para preman terminal angkutan kota. Bahwa di sana, tetangganya yang bernama Bang Uci pernah pulang sekolah sembari terisak usai dipalak para preman saat nekat memasuki kawasan itu.

Samsul keder. Namun entah setan --atau iblis atau apapun namanya--- mana yang merasuki, Samsul mengiyakan ajakan Ramlan. Sejurus kemudian mereka pun menelusuk di antara toko-toko yang tutup, sampai akhirnya mencapai bagian belakang pasar.

Bau pesing seketika menyergap, memaksa keduanya menutup hidung rapat-rapat. Jantung Samsul berdegup kencang. Kewaspadaannya meningkat. Pandang dilepaskannya ke segala arah, mengamati jika sewaktu-waktu ada preman yang bakal menghampiri.

"Kalau ada yang datang, kita langsung lari menyelamatkan diri," bisiknya kepada Ramlan, disambut anggukan pelan.

Jantung Samsul berdetak kian kencang. Tapi rasa penasaran menarik kakinya untuk terus melangkah. Hening. Sejauh mata memandang, tak seorang preman pun yang terlihat. Sepi. Jantung Samsul berdegup kian kencang. Ia tiba-tiba teringat kata-kata ibunya: setan kelaparan memangsa mereka yang tidak kuat iman. Dan, mungkin saja preman-preman itu kini telah lumat di perut setan ---atau iblis atau apapun namanya. Karena mereka yang suka memalak orang pastilah kurang iman.

Lamunan Samsul buyar ketika Ramlan tiba-tiba menarik tangannya. Ia lihat temannya itu telah mengarahkan telunjuk ke sebuah tenda sederhana bertudung terpal biru. Tepat di sela-selanya, terlihat menjuntai sejumlah pasang kaki. Ada yang berjinjit. Adapula yang bergoyang-goyang. Samsul dan Ramlan berpandangan. Muka mereka masam. 

Tak lama, keduanya terbirit-birit sembari berteriak-teriak mencari pertolongan. Samsul kencing di celana.

***

Samsul mengusap-usap jinnya, memastikan ia tak lagi mengompol di pasar. Setelah memastikan semuanya kering, ia tersenyum. Matanya kemudian menyapu ke setiap sudut. 

Kini, setelah lima belas tahun berselang, semua masih tampak sama. Pasar yang riuh-rendah oleh pembeli yang berbelanja kebutuhan Lebaran. Pun, setiap lekuk lorong yang pernah ditelusurinya semasa bocah, yang salah satunya bermuara ke belakang pasar. Tempat bersemayam para setan ---atau iblis atau apapun namanya. Ia masih mengingatnya.

Samsul kembali tersenyum. Samar-samar ia mendengar perutnya menggeram.

"Ayunkan kakimu, Sul," hatinya mulai mendesak.

"Ujung lorong itu..."

Samsul mempercepat langkah. Ia tak mau lagi berdebat dengan hatinya. Ia sadar matahari sudah merangkak tepat di ubun-ubun. Waktunya makan siang. Kakinya sudah kelaparan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun