Seperti ingin cuci tangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan kekecewaannya atas disahkannya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang salah satu isinya adalah mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Dalam konferensi pers dari Washington DC, Amerika Serikat, SBY mengeluarkan sejumlah pernyataan janggal dalam menyikapi pengesahan UU ini.
Pernyataan janggal yang pertama, SBY mengatakan bahwa ia merasa kecewa dengan UU Pilkada ini, sebab SBY menginginkan agar kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai penegasan ekspresi kekecewaannya, Presiden mengatakan bahwa ia tidak mau menandatangani UU yang sudah disahkan itu. Tentu ini sangat janggal, sebab sikap merajuk SBY itu tidak punya pengaruh apa-apa terhadap kelangsungan UU Pilkada, lantaran rancangan UU yang sudah disepakati bersama oleh DPR dengan pemerintah (yang diwakili Menteri Dalam Negeri) itu tetap akan berlaku dan mengikat masyarakat sekalipun UU itu tidak ditandatangani presiden. Hal ini sudah termaktub dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan bahwa 30 hari setelah RUU yang disepakati bersama itu tidak juga disahkan oleh presiden, maka RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Sudah banyak yang paham bahwa jika ingin 'memboikot' dan menunjukkan sikap 'merajuk' ini, bukan pada saat RUU itu akan diundangkan, tapi mestinya pada saat RUU itu akan diambil persetujuan dalam rapat paripurna. Dalam rapat paripurna DPR, pemerintah (presiden) bisa menghentikan pembahasan RUU tersebut dengan menyatakan ketidak setujuannya terhadap RUU tersebut, atau dengan kata lain menarik diri dari proses pembahasan RUU itu. Penarikan diri pemerintah dengan telak akan menghentikan semua proses pembahasan RUU, dan akibatnya RUU itu tidak akan bisa disahkan sesuai pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Pada kenyataannya, yang menarik diri justru bukan pemerintah, tapi fraksi Partai Demokrat. Dan pada kenyataannya pula, pemerintah melalui Mendagri justru menyatakan kesepakatannya dengan RUU Pilkada itu, dan sahlah RUU itu menjadi UU, apapun reaksi yang akan timbul pascapersetujuan itu. Kita tidak tahu apakah tindakan Mendagri menyetujui RUU itu betul-betul atas arahan dan sepengetahuan SBY, atau jangan-jangan Mendagri bertindak sendiri di luar instruksi SBY, mengingat SBY sendiri menginginkan agar pilkada tetap dilakukan secara langsung.
Barangkali SBY karena sedang berada di Amerika Serikat, membuatnya lupa bahwa mekanisme hak veto RUU hanya berlaku di AS, namun tidak di Indonesia. Di AS, presiden memang bisa keberatan dan menolak menandatangani suatu RUU yang telah disepakati Senat dan DPR (House of Representative), alias memvetonya, dan itu veto itu akan mempunyai konsekuensi tertentu terhadap keberlanjutan RUU tersebut. Setidaknya RUU itu untuk sementara tidak bisa disahkan sampai 2/3 anggota Senat dan DPR menyatakan bahwa RUU itu tetap harus berlaku dan menolak keberatan-keberatan presiden terhadapnya. Sedangkan di Indonesia, presiden sama sekali tidak punya hak veto setelah suatu RUU disepakati, kecuali memang presiden punya hak konstitusional untuk tidak menyetujui atau menarik diri dari proses pembahasan suatu RUU sebagaimana disebut di atas, tapi jelas sikap menarik diri tidak bisa disamakan dengan hak veto.
Sikap SBY yang merajuk tidak mau mensahkan RUU Pilkada ini pada akhirnya bukannya menimbulkan rasa simpati masyarakat, tapi justru menghadirkan antipati dan syak wasangka pada SBY. Sebab selain sudah terlambat dan tidak berguna, sikap merajuk ini juga memperlihatkan ketidakdewasaan seorang SBY, sekaligus menghadirkan pertanyaan dari masyarakat mengenai pemahaman SBY terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Presiden menggugat UU?
Pernyataan janggal kedua, SBY mengatakan sebagai bentuk kekecewaannya, ia sedang berpikir untuk mengajukan gugatan atas UU Pilkada ini. SBY mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan apakah gugatan itu akan diajukan ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Pernyataan SBY ini menimbulkan kebingungan, yaitu dalam kapasitas apa SBY akan mengajukan gugatan terhadap UU Pilkada ini. Jika dalam kapasitas sebagai perseorangan warga negara tentu tidak masalah, namun jika dalam kapasitas sebagai pemerintah tentu akan menjadi aneh. Sebab yang akan digugat justru suatu produk yang pemerintah/presiden ikut terlibat dalam pembuatannya. Bagaimana mungkin si pembuat UU menggugat produk buatannya sendiri. Apalagi sudah lazim dalam hukum acara MK bahwa yang dimintai keterangan terkait pengujian suatu UU adalah pihak DPR dan pemerintah, sebagai pembuat UU. Memang tidak ada disebut secara eksplisit dalam perkara pengujian UU terhadap UUD bahwa ada pihak termohon dalam perkara itu, namun secara akal sehat kita akan dapat memahami bahwa dalam suatu perkara pengujian UU pihak yang dianggap berada pada kubu 'pembela' UU adalah pemerintah dan DPR. Dengan kata lain sesungguhnya pihak pemerintah dan DPR selamanya dapat dianggap sebagai 'termohon' dalam perkara pengujian UU, dan tidak akan mungkin pemerintah dan DPR akan bertindak sebagai 'pemohon' sebagaimana yang sedang direncanakan SBY saat ini.
Ungkapan SBY bahwa dia sedang berpikir akan membawa uji materi UU Pilkada ke MA atau MK juga aneh, sebab jika yang akan dia uji adalah sebuah Undang-Undang, tentu permohonan tersebut harus dibawa ke MK. Menguji undang-undang terhadap UUD adalah kewenangan absolut dari MK yang tidak bisa diserahkan ke lembaga lain, bahkan kewenangan absolut itu tercantum dalam konstitusi. Mengajukan pengujian UU ke lembaga selain ke MK adalah sebuah tindakan yang menyalahi konstitusi.
Kewenangan DPRD dalam memilih kepala daerah
Yang ketiga, SBY mengatakan bahwa dalam UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 No. 17/2014) tidak ada disebutkan bahwa salah satu kewenangan DPRD adalah memilih kepala daerah. SBY juga mengatakan bahwa kewenangan memilih kepala daerah tidak mempunyai pautan dengan fungsi DPRD yang ada tiga itu (fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran).
Namun yang perlu kita ingat, bahwa ketika era reformasi sebelum berlakunya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam UU MD3 (ketika itu disebut sebagai UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD/UU Susduk) juga tidak ada disebut secara khusus dalam pasal-pasal terkait kewenangan DPRD bahwa kewenangan DPRD salah satunya adalah memilih kepala daerah. Memang dalam UU 22/2003 tentang Susduk itu ada disebut bahwa DPRD berwenang 'mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah kepada presiden melalui Mendagri (untuk gubernur)/kepada Mendagri melalui gubernur (untuk bupati/walikota)'. Namun tentu 'mengusulkan pengangkatan' di sini bukan dalam arti 'memilih', sebab yang akan diusulkan adalah hasil dari sebuah pemilihan yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu oleh DPRD. Dalam konteks pilkada langsung pascaberlakunya UU 32/2004, kewenangan DPRD ini juga tetap ada untuk 'mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah' ini.
Artinya, dulu pun dalam UU yang mengatur tentang DPRD, tidak ada disebutkan bahwa DPRD punya kewenangan memilih kepala daerah. Sebaliknya, kewenangan itu justru tercantum dalam UU Pemerintahan Daerah kala itu, yaitu UU 22/1999. UU 22/1999 itulah dasar hukum DPRD dalam memilih kepala daerah. Kewenangan DPRD untuk melakukan itu juga tidak inkonstitusional sebab dalam UU Susduk disebutkan bahwa selain kewenangan yang disebut dalam UU Susduk itu, DPRD juga punya kewenangan-kewenangan lain sebagaimana diatur dalam UU yang lain. Klausul terbuka dan delegatif itulah yang menjadi celah bagi legalitas DPRD untuk memilih kepala daerah.
Dengan demikian, jika SBY merasa UU Pilkada ini tidak sinkron dengan UU MD3 lantaran di UU MD3 tidak ada disebut kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah, tentu itu tidak beralasan. Sebab apa-apa yang menjadi kewenangan DPRD tidak hanya terbatas melulu pada yang tercantum dalam UU MD3 saja, tapi bisa juga tersebar di undang-undang yang lain. Apalagi klausul terbuka seperti disebut di atas tetap ada dalam UU MD3 saat ini (UU No. 17/2014). Pun pada praktik di masa lalu, dasar hukum bagi DPRD untuk memilih kepala daerah bukanlah UU Susduk, melainkan UU No. 22/1999 tentang Pemda. Begitu pula yang akan terjadi nanti, dasar hukum DPRD untuk memilih kepala daerah bukanlah UU MD3, melainkan UU Pilkada ini.
Penutup
Pada akhirnya, SBY sebagai presiden sebaiknya tidak usah terus berpolitik terkait UU Pilkada ini, sebab posisinya sudah terkunci sebagai salah satu pihak yang ikut terlibat dalam pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada. Apalagi sampai melakukan langkah-langkah yang membingungkan. Biarkan saja masyarakat madani yang akan bergerak untuk menggugat UU Pilkada itu ke MK.
Terhadap MK, tentu kita harapkan bahwa nantinya dapat memutus perkara ini dengan adil dan semata-mata berpijak pada konstitusi serta paradigma keadilan substantif yang mereka anut. MK tidak boleh terpengaruh dengan kuatnya suara-suara yang ingin agar MK mengeluarkan putusan yang seperti ini atau seperti itu, sebab dengan mendengar suara itu berarti MK sudah kehilangan independensi dan kemerdekaannya. MK harus memutus dengan keyakinannya sendiri, bahwa UU Pilkada ini benar bertentangan dengan UUD 1945 atau justru tidak bertentangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H