Namun yang perlu kita ingat, bahwa ketika era reformasi sebelum berlakunya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam UU MD3 (ketika itu disebut sebagai UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD/UU Susduk) juga tidak ada disebut secara khusus dalam pasal-pasal terkait kewenangan DPRD bahwa kewenangan DPRD salah satunya adalah memilih kepala daerah. Memang dalam UU 22/2003 tentang Susduk itu ada disebut bahwa DPRD berwenang 'mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah kepada presiden melalui Mendagri (untuk gubernur)/kepada Mendagri melalui gubernur (untuk bupati/walikota)'. Namun tentu 'mengusulkan pengangkatan' di sini bukan dalam arti 'memilih', sebab yang akan diusulkan adalah hasil dari sebuah pemilihan yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu oleh DPRD. Dalam konteks pilkada langsung pascaberlakunya UU 32/2004, kewenangan DPRD ini juga tetap ada untuk 'mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah' ini.
Artinya, dulu pun dalam UU yang mengatur tentang DPRD, tidak ada disebutkan bahwa DPRD punya kewenangan memilih kepala daerah. Sebaliknya, kewenangan itu justru tercantum dalam UU Pemerintahan Daerah kala itu, yaitu UU 22/1999. UU 22/1999 itulah dasar hukum DPRD dalam memilih kepala daerah. Kewenangan DPRD untuk melakukan itu juga tidak inkonstitusional sebab dalam UU Susduk disebutkan bahwa selain kewenangan yang disebut dalam UU Susduk itu, DPRD juga punya kewenangan-kewenangan lain sebagaimana diatur dalam UU yang lain. Klausul terbuka dan delegatif itulah yang menjadi celah bagi legalitas DPRD untuk memilih kepala daerah.
Dengan demikian, jika SBY merasa UU Pilkada ini tidak sinkron dengan UU MD3 lantaran di UU MD3 tidak ada disebut kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah, tentu itu tidak beralasan. Sebab apa-apa yang menjadi kewenangan DPRD tidak hanya terbatas melulu pada yang tercantum dalam UU MD3 saja, tapi bisa juga tersebar di undang-undang yang lain. Apalagi klausul terbuka seperti disebut di atas tetap ada dalam UU MD3 saat ini (UU No. 17/2014). Pun pada praktik di masa lalu, dasar hukum bagi DPRD untuk memilih kepala daerah bukanlah UU Susduk, melainkan UU No. 22/1999 tentang Pemda. Begitu pula yang akan terjadi nanti, dasar hukum DPRD untuk memilih kepala daerah bukanlah UU MD3, melainkan UU Pilkada ini.
Penutup
Pada akhirnya, SBY sebagai presiden sebaiknya tidak usah terus berpolitik terkait UU Pilkada ini, sebab posisinya sudah terkunci sebagai salah satu pihak yang ikut terlibat dalam pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada. Apalagi sampai melakukan langkah-langkah yang membingungkan. Biarkan saja masyarakat madani yang akan bergerak untuk menggugat UU Pilkada itu ke MK.
Terhadap MK, tentu kita harapkan bahwa nantinya dapat memutus perkara ini dengan adil dan semata-mata berpijak pada konstitusi serta paradigma keadilan substantif yang mereka anut. MK tidak boleh terpengaruh dengan kuatnya suara-suara yang ingin agar MK mengeluarkan putusan yang seperti ini atau seperti itu, sebab dengan mendengar suara itu berarti MK sudah kehilangan independensi dan kemerdekaannya. MK harus memutus dengan keyakinannya sendiri, bahwa UU Pilkada ini benar bertentangan dengan UUD 1945 atau justru tidak bertentangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H