Membaca artikel Pak Gunawan yang berjudul "Mengajak Perang Singapura, Rakyat Juga yang Susah" sukses menghangatkan darah 'nasionalisme' yang membacanya.
Seingat saya pada pelajaran sejarah, gak ada perang antar negara gara-gara alasan kecil seperti pemberian nama. Ada perang gara-gara wanita (Troy), ada perang karena beda paham keyakinan (Iran - Irak), ada perang gara-gara ingin minyak (Amerika nyerbu Irak), tapi gak ada perang gara-gara sebuah nama. Dalam insiden yang melibatkan personel tentara dua negara (misalnya India - Paskitan) itu karena emosi sesaat. Mereka saling senggol di perbatasan lalu karena emosi saling memuntahkan peluru.
Dalam menghadapi masalah sepele seperti nama, itu bukan wilayah perang senjata tapi perang diplomasi. Dari situ kita bisa mengukur bagaimana kinerja kemenlu. Kalau belum apa-apa sudah minta maaf dengan mengganti nama, lalu apa kerja kemenlu?
Pak Gun mengambil contoh hubungan bertetangga, "Misalnya ada tetangga yang menamai anjingnya dengan nama yang mirip dengan nama anak kita. bagaimana perasaan kita?"
Masalahnya ia terlalu menyederhanakan persoalan bertetangga hanya di masalah pemberian nama. Masalah bertetangga Indonesia - Singapura sangat 'rumit' dan bisa diceritakan berikut:
Pak Karto dan Om LeeGoh rumahnya bersebelahan. Tanah Om Leegoh kecil tapi rumahnya mewah dan mentereng, sedangkan tanah Pak Karto luas dengan rumah yang sederhana. Selama ini Pak Karto jengkel pada tetangga sebelah rumah itu karena tikus-tikus yang memakan tanaman di tanah Pak Karto larinya pasti ke rumah Om Leegoh. Pak Karto sering minta Om Leegoh agar menyerahkan tikus-tikus pencuri itu, namun Om Leegoh menolaknya.
Nah baru-baru ini Pak Karto beli kucing dari luar desa dan memberinya nama USHAS. Om Leegoh protes karena menganggap nama itu melukai hatinya. Dulu pernah kejadian kucing Pak Karto yang bernama Ushas merusak kandang burung Om Leegoh. Dia berhasil menangkap kucing itu dan membunuhnya. Pak Karto menganggap nama Ushas sudah bersih, karena dulu utusan Om Leegoh juga pernah tabur bunga di makam kucing itu.
Om Leegoh protes, apa yang dilakukan Pak Karto?
Dari artikelnya, Pak Gun menyarankan ketimbang ribut-ribut, ganti saja namanya. Masalah beres.
Kalau menurut saya sih, sesekali ribut dengan tetangga itu hal biasa asal gak sampai melibatkan fisik. Ribut bisa menghangatkan pertemanan. Kita bisa ambil contoh di kompasiana ini. Sesekali Pakde Kartono ribut dengan Bulik Ira Oemar, bahkan pakde selalu memelihara agar api itu terus menyala kecil, misalnya baru-baru ini menulis tentang badge "Kompasiana of the year2013" yang muncul di profil bulik Ira Oemar.
Di pergaulan antar warga, seorang tetangga boleh meributkan apapun yg ia tidak suka. Jadi Om Leegoh boleh teriak sepuas-puasnya, boleh nyetel musik keras-keras sebagai tanda protes, asal semua itu dilakukan di halaman rumahnya sendiri. Semua boleh ia lakukan asal tidak kelewat batas, misalnya masuk halaman sambil membawa golok, kalau sudah sampai pada tahap itu berlaku sebuah ungkapan yang populer di mari "senggol bacok".
Ribut-ribut soal nama kapal perang Usman Hasan, sejauh yang saya baca dan dengar tidak ada kata "perang" yang terucap baik dari kubu Indonesia maupun Singapura. Kata perang cuma olok-olok yang keluar dari rakyat, bukan sikap resmi pemerintah. Jadi jangan terlalu mendramatisir keadaan.
Sepertinya pemerintah Indonesia dalam hal ini kemenlu juga sudah bekerja sesuai aturan itu. Indonesia tetap memakai nama kapal Usman Hasan. Singapura boleh protes soal nama, dan protes itu dimasukkan 'catatan' oleh kemenlu.
Selama ia hanya protes, ya anggap saja itu catatan. Tapi kalau misalnya sudah melangkah ke tahap selanjutnya, ambil contoh embargo atau hal lainnya, baru lah Indonesia melangkah ke tahap selanjutnya juga. Dan itu bukan "perang". Banyak tahapan sebelum keputusan perang diambil.
Agar judul tulisan ini bukan hanya sebagai hiasan, berikuti ini 7 alasan mengapa kita harus "perang" lawan tetangga kaya itu:
1. mereka kecil, kita besar
2. mereka sedikit, kita banyak
3. mereka sombong, kita sudah sering ngalah
4. mereka lebih kaya, dan sebagian kekayaan itu hasil simpanan tikus yang tinggal di sana.
5, 6, 7 (silakan cari alasan sendiri, masak harus aku juga yang mencarinya?)
Apa untungnya jika Indonesia "perang" melawan Singapura?
Ada sebuah anekdot lawas yang cocok untuk menggambarkan situasi ini. Jika Indonesia menang, maka kemakmuran dan kemajuan negara tetangga bisa kita nikmati. Bagaimana kalau kalah? (Masak sih kalah lawan si kecil) Namun seandainya (ingat seandainya) kalah pun kita tetap untung.
(1) kalah berarti masuk wilayahnya, dengan begitu kemakmuran dan kemajuan mereka juga akan sampai ke kita.
(2) Dalam sepuluh tahun, dengan kemampuan politisi kita yang mumpuni maka akan ada yang duduk di lembaga negara. Dan jika itu terjadi, perilaku buruk politisi kita bisa menulari politisi mereka, dan akibatnya mereka juga akan terjangkit korupsi. Dan bila itu terjadi, bukankah itu berarti kemenangan?
Namun ada yang lebih mendesak daripada "perang" melawan tetangga, yaitu PERANG melawan kerakusan dan pemborosan oleh politisi dan pemimpin negeri ini sendiri. Banyak anggaran negara diboroskan untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan rakyat, misalnya (rencana) Rp 600 milyar untuk membayar saksi pemilu, Rp 1 trilyun untuk beli pesawat presiden, pensiun anggota DPR, wisata anggota DPR dengan alasan kunker dan masih banyak lagi. Andaikan anggaran yang diboroskan itu untuk membangun infrastruktur, tentu akan sangat bermanfaat dan bisa dirasakan secara langsung oleh rayat.
"Perang" lawan Singapura? Siapa takut! Tapi itu belum perlu. Yang paling mendesak adalah perang lawan pemborosan oleh politisi dan pemimpin negeri. Siap berperang kawan?
Terima kasih sudah membaca.
Salam,
@kubusIDE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H