Ada sebuah anekdot lawas yang cocok untuk menggambarkan situasi ini. Jika Indonesia menang, maka kemakmuran dan kemajuan negara tetangga bisa kita nikmati. Bagaimana kalau kalah? (Masak sih kalah lawan si kecil) Namun seandainya (ingat seandainya) kalah pun kita tetap untung.
(1) kalah berarti masuk wilayahnya, dengan begitu kemakmuran dan kemajuan mereka juga akan sampai ke kita.
(2) Dalam sepuluh tahun, dengan kemampuan politisi kita yang mumpuni maka akan ada yang duduk di lembaga negara. Dan jika itu terjadi, perilaku buruk politisi kita bisa menulari politisi mereka, dan akibatnya mereka juga akan terjangkit korupsi. Dan bila itu terjadi, bukankah itu berarti kemenangan?
Namun ada yang lebih mendesak daripada "perang" melawan tetangga, yaitu PERANG melawan kerakusan dan pemborosan oleh politisi dan pemimpin negeri ini sendiri. Banyak anggaran negara diboroskan untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan rakyat, misalnya (rencana) Rp 600 milyar untuk membayar saksi pemilu, Rp 1 trilyun untuk beli pesawat presiden, pensiun anggota DPR, wisata anggota DPR dengan alasan kunker dan masih banyak lagi. Andaikan anggaran yang diboroskan itu untuk membangun infrastruktur, tentu akan sangat bermanfaat dan bisa dirasakan secara langsung oleh rayat.
"Perang" lawan Singapura? Siapa takut! Tapi itu belum perlu. Yang paling mendesak adalah perang lawan pemborosan oleh politisi dan pemimpin negeri. Siap berperang kawan?
Terima kasih sudah membaca.
Salam,
@kubusIDE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H