Mohon tunggu...
poponz r.
poponz r. Mohon Tunggu... -

peunteng kon peunteng yang peunteng tuleh...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Adat Desa

31 Agustus 2015   21:54 Diperbarui: 31 Agustus 2015   22:00 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

`          

 

 

Adat Desa terutama di Jawa dan di Bali secara empirical telah lama dikenal. Saat ini istilah tersebut diadopsi sebagai terminologi Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-Undang Desa. Sejauh pengetahuan saya, sebelumnya tidak ada peraturan yang setingkat UU mengatur atau mengadopsi istilah Adat Desa. Penggunaan istilah desa mengingatkan kita pada penerapan UU No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa.

Ketika itu, seluruh struktur pemerintahan di level birokrasi terendah negara berubah namanya menjadi Desa, RT, RW atau kelurahan model struktur pemerintahan di Jawa.

Dalam bahasa diperhalus dapat dikatakan seluruh struktur pemerintah paling bawah ketika itu harus mengikuti model struktur yang diterapkan di tanah Jawa. Akibatnya, struktur desa dengan mempunyai nama dan model yang berbeda-beda yang masih hidup dan berkembang di setiap daerah, serta telah berlangsung secara turun temurun, tatanannya menjadi rusak.

Dalam konteks keindonesiaan, menghadirkan kembali istilah desa menunjukkan masih ada keinginan pembuat UU negara ini untuk menyatukan dan menyeragamkan kembali istilah tersebut supaya dapat diresepsi oleh seluruh perangkat level birokrasi terendah secara perlahan-lahan. Penyeragaman ini bertambah nyata, jika alokasi bantuan dana Desa yang digagas Undang-Undang Desa misalnya, mensyaratkan desa penerima adalah atas nama desa, tidak boleh nama selain nama desa.

Dapat dibayangkan, jika hal itu benar-benar diterapkan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, saya menduga 20 tahun ke depan, seluruh istilah selain nama desa di Indonesia akan kembali berubah nama dan statusnya menjadi nama dengan nomenklatur desa. Sebenarnya, sikap ini bukanlah pesimistis, apriori ataupun antipati, tetapi lebih kepada sikap hati-hati dan mungkin juga traumatis dari akibat penerapan UU No.5 Tahun 1974 di masa lalu.

Pada hakikatnya, Undang-Undang Desa yang baru ini dapat dikatakan telah memenuhi perasaan masyarakat, setidaknya setengah dari perasaan masyarakat. Ini karena Undang-Undang Desa selain menerima nomenklatur desa, juga menerima istilah. Yang berarti bahwa, selain istilah desa dan adat desa, Undang-Undang Desa juga membenarkan dan mempertahankan istilah seperti nomenklatur kampung bagi Aceh, atau nama lain yang mempunyai ciri-ciri daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri dan persekutuan masyarakat untuk daerah-daerah lain di Indonesia.

Dalam hal ini, Undang-Undang Desa telah menyelami maksud Pasal 18B (2) UUD 1945, yakni: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan dipertahankan.” Dalam penjelasan umum Undang-Undang Desa, juga jelas menjabarkan maksud adat desa atau istilah yang dimaksudkan Undang-Undang Desa. Misalnya nama lain untuk desa seperti nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, tiuhatau pekon di Lampung, lembang di Toraja, banuadan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku, serta lebih kurang 250 jenis nama lainnya di Indonesia. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa Undang-Undang Desa menyadari betul bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari masyarakat yang multikultur.

 

 

Banda Aceh, 31 Agustus 2015

RAHMATSYAH

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun